Sebagian orang punya anggapan bahwa hilal adalah fenomena yang ada di
langit, yaitu dengan terlihatnya bulan sabit. Namun jika kita menelaah
lebih dalam dari berbagai dalil Al Qur’an, hadits dan kalam ulama, kita
akan temukan bahwa sebenarnya hilal bukan hanya sekedar seperti itu.
Hilal selain jadi fenomena alam, juga harus diakui oleh mayoritas
manusia. Sehingga hilal barulah dianggap jika mayoritas manusia memulai
Ramadhan dan memulai berhari raya .
Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia
Jika salah seorang atau satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau
Syawal, lalu persaksiannya ditolak oleh penguasa apakah yang melihat
tersebut mesti puasa atau mesti berbuka? Dalam masalah ini ada
perselisihan pendapat di antara para ulama.
Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat
hilal Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun
keduanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi
[1]
agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Inilah
pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu pendapat dari
Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm. Dalilnya adalah firman Allah
Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”
Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Pendapat lainnya menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal
sendiri hendaklah berpuasa berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun
hendaklah ia berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya.
Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur
dari Imam Ahmad.
Sedangkan pendapat yang terakhir menyatakan bahwa orang tersebut
tidak boleh mengamalkan hasil ru’yah, ia harus berpuasa dan berhari raya
bersama masyarakat yang ada di negerinya.Dalil dari pendapat terakhir
ini adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“
Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul
fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.”[2] Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi
rahimahullah menyatakan,
”Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa dan
hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum
muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)”. ”
Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
[3] Pendapat inilah pendapat yang kami nilai lebih kuat. Penjelasannya sebagai berikut.
Perlu diketahui bahwa hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang
terlihat di langit. Namun hilal adalah sesuatu yang telah masyhur di
tengah-tengah manusia, artinya semua orang mengetahuinya.
Ibnu Taimiyah
rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya bermakna kata
zuhur (artinya: nampak) dan
rof’ush shout
(meninggikan suara). [Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang
tersebar dan diketahui oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah
nampak di langit saja dan tidak nampak di muka bumi (artinya, diketahui
orang banyak, -pen), maka semacam itu tidak dikenai hukum sama sekali
baik secara lahir maupun batin. Akar kata dari hilal sendiri adalah dari
perbuatan manusia. Tidak disebut hilal kecuali jika ditampakkan.
Sehingga jika hanya satu atau dua orang saja yang mengetahuinya lantas
mereka tidak mengabarkan pada yang lainnya, maka tidak disebut hilal.
Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai orang yang melihat hilal
tersebut memberitahukan pada orang banyak. Berita keduanya yang menyebar
luas yang nantinya disebut hilal karena hilal berarti mengeraskan suara
dengan menyebarkan berita kepada orang banyak.”
[4]
Beliau
rahimahullah mengatakan pula, “Allah menjadikan hilal
sebagai waktu bagi manusia dan sebagai tanda waktu berhaji. Ini tentu
saja jika hilal tersebut benar-benar nampak bagi kebanyakan manusia dan
masuknya bulan begitu jelas. Jika tidak demikian, maka bukanlah disebut
hilal dan
syahr (masuknya awal bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri dan Idul Adha- dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Allah
Ta’ala berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit).
Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189)
[5]
Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr
(masuknya awal bulan) apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan
orang dan nampak bagi mereka. Misalnya saja ada 10 orang yang melihat
hilal namun persaksiannya tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi
kebanyakan orang di negeri tersebut karena mereka tidak
memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin lainnya.
Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan
penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum
muslimin lainnya, maka begitu pula dengan puasa, mereka pun seharusnya
bersama kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“
Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul
fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha”
Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin
lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca
cerah atau mendung.”
Imam Ahmad juga mengatakan,
يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin”.
[6]
Jika Satu Negeri Melihat Hilal, Apakah Berlaku Bagi Negeri Lainnya?
Misalnya ketika di Saudi sudah melihat hilal, apakah mesti di
Indonesia juga berlaku hilal yang sama? Ataukah masing-masing negeri
berlaku hilal sendiri-sendiri?
Berikut kami nukilkan keterangan dari para ulama yang duduk di Al
Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset
Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).
Pertanyaan:
“Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam berhari
raya Idul Fithri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam menentukan
hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu hari ‘ied)
atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk berpuasa.
Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang krusial
ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah.
Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini terdapat perselisihan,
ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam
ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat
untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?
Jawab: Para
ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa
berbeda-beda dan hal ini terbukti secara inderawi dan logika. Akan
tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak
hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam
masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan
teranggapnya hilal di tempat lain dalam penentuan awal dan akhir
Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat
kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal di tempat lain.
Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah
dan qiyas. Terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil
yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“
Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di
negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Begitu juga firman Allah,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
“
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit).
Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah: 189)
Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“
Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi
karena adanya perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam
masalah ini masih ada ruang untuk berijtihad. Oleh karena itu, para
pakar fikih terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu
hingga saat ini.
Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal
pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’
(beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi
perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan
penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu
pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri
tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di negeri
tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama
di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan
kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.
Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
[7]
Semoga sajian singkat ini bermanfaat.