Monday, December 30, 2013

Fenomena Konsumtif Kelas Menengah Indonesia

Indonesia ibarat mal raksasa, konsumennya membeli barang untuk penampilan bukan kegunaan.

Orang Indonesia ternyata memiliki rasa percaya diri yang tinggi untuk membelanjakan uangnya. Walaupun beberapa sumber menyebutkan perekonomian nasional sedang terancam,dan kasus korupsi serta mafia pajak merajalela, orang Indonesia optimistis terhadap kondisi kehidupan pada 2013 ini.
Hasil survei Indeks Kepercayaan Konsumen kuartal I/2013 yang diselenggarakan Nielsen di 58 negara mengindikasikan hal itu. Survei pada Februari hingga awal Maret 2013 kembali menempatkan Indonesia ke posisi teratas negara yang penduduknya paling optimistis dalam memanfaatkan uang.
Dalam hal belanja, Indonesia diibaratkan sebagai mal raksasa, di dalamnya ditawarkan berbagai barang konsumsi dan hampir semuanya terserap pasar. Hal ini dibarengi kecenderungan konsumen Indonesia lebih mengutamakan membeli barang untuk style (penampilan) dibandingkan dengan utility (kegunaan).
Itu terjadi terutama pada barang konsumsi yang tergolong fast moving consumer goods. Konsumen pada tipe produk cepat laku seperti ini dengan mudah berganti ponsel dalam waktu singkat atau mengejar gadget terbaru sambil melihat daftar produk lain secara online maupun offline.
Kepercayaan konsumen kelas menengah dengan pengeluaran antara US$ 2-20 per harinya atau Rp 19.000-200.000 per hari (data statistik World Bank, Paritas Daya Beli) menunjukkan perilaku konsumen yang siap berbelanja pada berapa pun tingkat harga yang diberikan produsen.
Konsumsi yang terus meningkat ini menyebabkan surplus permintaan (over demand), yang akhirnya memicu industri untuk meningkatkan harga lalu memproduksi barang lebih banyak lagi. Kenaikan tingkat harga barang (inflasi) ini akhirnya juga meningkatkan jumlah uang beredar, yang bila tidak dapat dikendalikan akan mendepresiasi (menurunkan nilai mata uang) rupiah.
Dengan kondisi tersebut, pemerintah cenderung melakukan kebijakan moneter kontraktif (tight money policy) dengan menaikkan suku bunga. Selanjutnya, kenaikan suku bunga tersebut akan berpengaruh negatif bagi investasi di Indonesia.
Padahal, turunnya investasi di Indonesia akan berpengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi, khususnya bagi kondisi ketenagakerjaan. Berkurangnya lapangan pekerjaan dan meningkatnya jumlah penganggur adalah harga yang harus dibayar bangsa ini bila terus mengandalkan konsumsi sebagai penyokong pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan ekonomi pemerintah untuk menjadikan masyarakat kelas menengah sebagai ujung tombak ekonomi dari terjangan krisis global, dapat menjadi bom waktu bagi perekonomian nasional yang dimulai dengan ledakan kecil di tengah masyarakat kelas bawah.
 
Efek “Bandwagon Smartphone”
Perilaku konsumtif masyarakat kelas menengah juga menimbulkan jarak (gap) antara kondisi keuangan masyarakat kelas menengah dengan masyarakat kelas bawah yang pengeluarannya di bawah Rp 19.000-200.000 per hari, juga dengan masyarakat yang tergolong miskin (pengeluarannya kurang dari US$ 1,5-2 per hari).
Masyarakat kelas bawah ini pada akhirnya menuntut berbagai penyesuaian yang mampu meminimalkan gap antarkelas. Salah satunya dengan menuntut kenaikan upah dari perusahaan, yang kini tak lagi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, tetapi juga untuk mengadopsi perilaku konsumen kelas menengah.
Fenomena tersebut dapat dicontohkan dengan pesatnya penjualan ponsel pintar (smartphone) China di Indonesia. Smartphone dari berbagai merek yang populer dikonsumsi di Indonesia menciptakan efek bandwagon (ikut-ikutan) yang menguntungkan perusahaan, sekaligus mengarahkan perilaku konsumsi masyarakat kelas bawah.
Berdasarkan rilis International Data Corporation (IDC), 24 Januari 2013, dengan predikat manufaktur smartphone terbesar ketiga di dunia pada kuartal III/2012 dan diserap lebih dari 8 persen pangsa pasar Indonesia, smartphone dari China yang memiliki tampilan dan fitur serupa dengan merek lainnya, mampu memuaskan konsumen kelas bawah karena harganya terjangkau.
Gejala itu menggiring masyarakat kelas bawah untuk membelanjakan barang non-pokok, melalui kredit mikro maupun membayar secara tunai, tetapi di luar kemampuan mereka untuk membayarnya.
 
Ekspektasi Ekonomi
Perilaku konsumtif masyarakat secara umum baik di Indonesia maupun dunia, sangat terpengaruh ekspektasi ekonomi. Masyarakat bisa tetap optimistis untuk berbelanja, pelaku bisnis dapat memutuskan untuk berinvestasi, dan segala aktivitas ekonomi lainnya, terpengaruh ekspektasi positif sebuah perekonomian.
Begitu pula sebaliknya, ekspektasi negatif sebuah perekonomian dapat menimbulkan efek negatif bagi keputusan-keputusan ekonomi. Namun, ekspektasi ini seharusnya tak hanya berlaku untuk kegiatan konsumsi.
Sebagai contoh, wacana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada awal 2012 (Maret-April) yang diberitakan secara berlebihan dan negatif, menimbulkan kekhawatiran bagi konsumen dan pelaku bisnis.
Ekspektasi negatif yang ditimbulkan tersebut mendorong konsumen BBM bersubsidi untuk membeli secara berlebihan (beberapa bahkan menimbunnya) dan pelaku bisnis menaikkan harga barang. Akhirnya, lonjakan harga barang terjadi sebelum harga BBM bersubsidi benar-benar dinaikkan.
Fenomena tersebut terjadi beberapa kali di Indonesia, salah satu yang tertinggi adalah pengurangan subsidi BBM pada kuartal IV/2005. Kenaikan harga BBM bersubsidi pada waktu itu, ekspektasi inflasi (Statistik Kebijakan Moneter BI) meningkat menjadi 7,9 persen dari kuartal sebelumnya.
Padahal, kenaikan harga BBM terjadi pada November 2005 (Kementerian ESDM, kuartal IV/2005). Saat itu kenaikan harga bensin Premium meningkat 87,5 persen, dari Rp 2.400 menjadi Rp 4.500, sedangkan harga solar naik 104,76 persen dari Rp 2.100 menjadi Rp 4.300. Ini menyebabkan lonjakan inflasi 18,38 persen pada November 2005 (YoY).
Pengendalian ekspektasi ekonomi yang positif perlu diterapkan kelompok masyarakat madani dan terliterasi (media, akademikus, LSM, dan sebagainya) sebagai bentuk kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional yang sehat dan inklusif (mencakup semua kegiatan ekonomi dan berbagai lapisan).
Kenaikan harga BBM bersubsidi tak selalu harus ditunjukkan dengan penolakan, konflik, hingga kegiatan nonproduktif. Dapat juga dipandang fenomena pemotongan subsidi BBM merupakan kebijakan fiskal yang perlu dilakukan untuk mengimbangi harga minyak dunia yang terus meningkat, mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi masyarakat yang sudah melampaui kuota dan pilihan kebijakan pemerintah untuk melaksanakan program kesejahteraan masyarakat lainnya.
Kebijakan pemerintah melaksanakan program kesejahteraan masyarakat lainnya merupakan kompensasi pemotongan subsidi BBM. Kompensasi ini perlu dikawal semua elemen masyarakat. Jangan lagi kompensasi BBM bersubsidi ini dilimpahkan pada program yang hanya mendorong konsumsi masyarakat tanpa memperhitungkan peningkatan faktor-faktor produksi.
Setidaknya, kompensasi BBM bersubsidi harus mencakup dua hal penting yang dapat menambah nilai dari faktor-faktor produksi. Pertama, kompensasi BBM bersubsidi harus mengandung nilai pendidikan guna mencetak sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi.
Dengan pendidikan yang tepat guna, pemerintah akan mencetak masyarakat kelas menengah baru yang tetap produktif. Lebih jauh lagi, pendidikan akan mencetak para akademikus, ilmuwan, dan peneliti yang mampu melakukan penemuan dan inovasi guna memaksimalkan kegiatan produksi.
Kedua, kompensasi BBM bersubsidi sebaiknya dilimpahkan untuk pembangunan infrastruktur produksi di daerah. Dengan membuka lapangan pekerjaan di daerah, pemerintah dapat meminimalkan distribusi tenaga kerja dari daerah ke kota sekaligus meningkatkan pemerataan ekonomi yang berimplikasi pada peningkatan pendapatan daerah dan produk domestik bruto daerah (PDBR).
Dengan memahami fenomena konsumsi masyarakat kelas menengah dan implikasinya terhadap perilaku masyarakat kelas bawah yang dikaitkan dengan fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini, kita sama-sama berharap pertumbuhan ekonomi bangsa ini dinikmati semua lapisan masyarakat.

Sumber : Sinar Harapan

No comments:

Post a Comment