Indonesia ibarat mal raksasa, konsumennya membeli barang untuk penampilan bukan kegunaan.
Orang Indonesia ternyata memiliki rasa
percaya diri yang tinggi untuk membelanjakan uangnya. Walaupun
beberapa sumber menyebutkan perekonomian nasional sedang terancam,dan kasus korupsi serta
mafia pajak merajalela, orang Indonesia optimistis terhadap
kondisi kehidupan pada 2013 ini.
Hasil survei Indeks Kepercayaan
Konsumen kuartal I/2013 yang
diselenggarakan Nielsen di 58 negara mengindikasikan hal itu. Survei
pada Februari hingga awal Maret 2013 kembali menempatkan Indonesia
ke posisi teratas negara yang penduduknya paling optimistis dalam
memanfaatkan uang.
Dalam hal belanja, Indonesia diibaratkan sebagai mal raksasa, di
dalamnya ditawarkan berbagai barang konsumsi dan hampir semuanya
terserap pasar. Hal ini dibarengi kecenderungan konsumen Indonesia
lebih mengutamakan membeli barang untuk style (penampilan)
dibandingkan dengan utility (kegunaan).
Itu terjadi terutama pada barang
konsumsi yang tergolong fast moving consumer goods. Konsumen pada
tipe produk cepat laku seperti ini dengan mudah berganti ponsel
dalam waktu singkat atau mengejar gadget terbaru sambil melihat
daftar produk lain secara online maupun offline.
Kepercayaan konsumen kelas menengah
dengan pengeluaran antara US$ 2-20 per
harinya atau Rp 19.000-200.000 per hari (data statistik World Bank,
Paritas Daya Beli) menunjukkan perilaku konsumen yang siap
berbelanja pada berapa pun tingkat harga
yang diberikan produsen.
Konsumsi yang terus meningkat ini
menyebabkan surplus permintaan (over demand), yang akhirnya memicu
industri untuk meningkatkan harga lalu memproduksi barang lebih
banyak lagi. Kenaikan tingkat harga barang (inflasi) ini akhirnya
juga meningkatkan jumlah uang beredar,
yang bila tidak dapat dikendalikan akan mendepresiasi (menurunkan
nilai mata uang) rupiah.
Dengan kondisi tersebut, pemerintah
cenderung melakukan kebijakan moneter kontraktif (tight money
policy) dengan menaikkan suku bunga. Selanjutnya, kenaikan suku
bunga tersebut akan berpengaruh negatif bagi investasi di Indonesia.
Padahal, turunnya investasi di Indonesia akan berpengaruh negatif
pada pertumbuhan ekonomi, khususnya bagi
kondisi ketenagakerjaan. Berkurangnya lapangan pekerjaan dan
meningkatnya jumlah penganggur adalah harga yang harus dibayar
bangsa ini bila terus mengandalkan konsumsi sebagai penyokong
pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan ekonomi pemerintah untuk
menjadikan masyarakat kelas menengah sebagai ujung tombak ekonomi
dari terjangan krisis global, dapat menjadi bom waktu bagi
perekonomian nasional yang dimulai dengan ledakan kecil di tengah
masyarakat kelas bawah.
Efek “Bandwagon Smartphone”
Perilaku konsumtif masyarakat kelas
menengah juga menimbulkan jarak (gap) antara kondisi keuangan
masyarakat kelas menengah dengan masyarakat kelas bawah yang
pengeluarannya di bawah Rp 19.000-200.000 per hari, juga dengan
masyarakat yang tergolong miskin (pengeluarannya kurang dari US$
1,5-2 per hari).
Masyarakat kelas bawah ini pada
akhirnya menuntut berbagai penyesuaian yang mampu meminimalkan
gap antarkelas. Salah satunya dengan menuntut kenaikan upah dari
perusahaan, yang kini tak lagi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
pokok, tetapi juga untuk mengadopsi perilaku konsumen kelas
menengah.
Fenomena tersebut dapat dicontohkan
dengan pesatnya penjualan ponsel pintar (smartphone) China di
Indonesia. Smartphone dari berbagai merek yang populer dikonsumsi di
Indonesia menciptakan efek bandwagon (ikut-ikutan) yang
menguntungkan perusahaan, sekaligus mengarahkan perilaku konsumsi
masyarakat kelas bawah.
Berdasarkan rilis International Data
Corporation (IDC), 24 Januari 2013, dengan predikat manufaktur
smartphone terbesar ketiga di dunia pada kuartal III/2012
dan diserap lebih dari 8 persen pangsa pasar Indonesia, smartphone
dari China yang memiliki tampilan dan fitur serupa dengan merek
lainnya, mampu memuaskan konsumen kelas bawah karena harganya
terjangkau.
Gejala itu menggiring masyarakat kelas
bawah untuk membelanjakan barang non-pokok, melalui kredit mikro
maupun membayar secara tunai, tetapi di
luar kemampuan mereka untuk membayarnya.
Ekspektasi Ekonomi
Perilaku konsumtif masyarakat secara
umum baik di Indonesia maupun dunia, sangat terpengaruh ekspektasi
ekonomi. Masyarakat bisa tetap optimistis untuk berbelanja, pelaku
bisnis dapat memutuskan untuk berinvestasi, dan segala aktivitas
ekonomi lainnya, terpengaruh ekspektasi positif sebuah perekonomian.
Begitu pula sebaliknya, ekspektasi
negatif sebuah perekonomian dapat menimbulkan efek negatif bagi
keputusan-keputusan ekonomi. Namun, ekspektasi ini seharusnya tak
hanya berlaku untuk kegiatan konsumsi.
Sebagai contoh, wacana kenaikan harga
bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada awal 2012 (Maret-April)
yang diberitakan secara berlebihan dan negatif, menimbulkan
kekhawatiran bagi konsumen dan pelaku bisnis.
Ekspektasi negatif
yang ditimbulkan tersebut mendorong konsumen BBM bersubsidi untuk
membeli secara berlebihan (beberapa bahkan menimbunnya) dan pelaku
bisnis menaikkan harga barang. Akhirnya, lonjakan harga barang
terjadi sebelum harga BBM bersubsidi benar-benar dinaikkan.
Fenomena tersebut terjadi beberapa
kali di Indonesia, salah satu yang tertinggi adalah pengurangan
subsidi BBM pada kuartal IV/2005. Kenaikan
harga BBM bersubsidi pada waktu itu, ekspektasi inflasi (Statistik
Kebijakan Moneter BI) meningkat menjadi 7,9 persen dari kuartal
sebelumnya.
Padahal, kenaikan harga BBM terjadi pada November 2005
(Kementerian ESDM, kuartal IV/2005). Saat
itu kenaikan harga bensin Premium meningkat 87,5 persen,
dari Rp 2.400 menjadi Rp 4.500, sedangkan harga solar naik 104,76
persen dari Rp 2.100 menjadi Rp 4.300. Ini menyebabkan lonjakan
inflasi 18,38 persen pada November 2005 (YoY).
Pengendalian ekspektasi ekonomi yang
positif perlu diterapkan kelompok masyarakat madani dan terliterasi
(media, akademikus, LSM, dan sebagainya) sebagai bentuk kontribusi
positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional yang sehat dan inklusif
(mencakup semua kegiatan ekonomi dan berbagai lapisan).
Kenaikan harga BBM bersubsidi tak
selalu harus ditunjukkan dengan penolakan, konflik,
hingga kegiatan nonproduktif. Dapat juga
dipandang fenomena pemotongan subsidi BBM merupakan kebijakan fiskal
yang perlu dilakukan untuk mengimbangi harga minyak dunia yang terus
meningkat, mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi masyarakat yang
sudah melampaui kuota dan pilihan kebijakan pemerintah untuk
melaksanakan program kesejahteraan masyarakat lainnya.
Kebijakan pemerintah melaksanakan
program kesejahteraan masyarakat lainnya merupakan kompensasi
pemotongan subsidi BBM. Kompensasi ini perlu dikawal semua elemen
masyarakat. Jangan lagi kompensasi BBM bersubsidi ini dilimpahkan
pada program yang hanya mendorong konsumsi masyarakat tanpa
memperhitungkan peningkatan faktor-faktor produksi.
Setidaknya, kompensasi BBM bersubsidi
harus mencakup dua hal penting yang dapat menambah nilai dari
faktor-faktor produksi. Pertama, kompensasi BBM bersubsidi harus
mengandung nilai pendidikan guna mencetak sumber daya manusia (SDM)
yang memiliki kompetensi.
Dengan pendidikan yang tepat guna,
pemerintah akan mencetak masyarakat kelas menengah baru yang tetap
produktif. Lebih jauh lagi, pendidikan akan mencetak para
akademikus, ilmuwan,
dan peneliti yang mampu melakukan penemuan dan inovasi guna
memaksimalkan kegiatan produksi.
Kedua, kompensasi BBM bersubsidi
sebaiknya dilimpahkan untuk pembangunan infrastruktur produksi di
daerah. Dengan membuka lapangan pekerjaan di daerah, pemerintah
dapat meminimalkan distribusi tenaga kerja dari daerah ke kota
sekaligus meningkatkan pemerataan ekonomi yang berimplikasi pada
peningkatan pendapatan daerah dan produk domestik bruto daerah
(PDBR).
Sumber : Sinar Harapan
No comments:
Post a Comment