Saturday, February 22, 2014

Fenomena Caleg

Pemilu 2014 tinggal beberapa bulan lagi. Partai politik sejak lama sudah menyiapkan calegnya untuk dipilih oleh rakyat. Dan rakyat, mau tak mau harus memilih diantara caleg-caleg yang disuguhkan masing-masing parpol.

Nyaris tak ada ruang negosiasi yang dibangun untuk rakyat ditengah penentuan caleg-caleg parpol itu. Rakyat (sebagai pemilih) benar-benar hanya dipandang sebagai subjek yang bisu. Rakyat, seolah "wajib" menerima kontestan caleg yang ditawarkan parpol.

Malang niang, nampaknya rakyat sengaja dibiarkan sebagai subjek yang bisu. Sebab sesungguhnya, parpol boleh saja berkreasi membangun mekanisme untuk menjaring caleg-caleg yang dikehendaki rakyat. Kreasi itu bisa ditempuh dengan berbagai metode sepanjang substansinya tercapai, yakni; mendapatkan caleg selera rakyat, bukan selera elit parpol.

Apa lacur, sampai kini rakyat tak pernah tahu apa pertimbangan parpol mengusung caleg-calegnya. Apa dasar parpol untuk memasukkan seseorang dalam daftar caleg? Apakah karena ia kader partai? Atau orang lain yang dekat dengan elit partai? Apakah ia tokoh masyarakat, tokoh yang dikenal karena jejak rekamnya dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat? Atau karena ia tokoh an sich, tanpa mempedulikan jejak rekam atau kinerjanya, dan murni hanya persoalan dikenal dan tidak dikenal? Di mana peran kader dan publik dalam menentukan kriteria tersebut? Tanpa ragu kita bisa menjawabnya dengan jelas: tidak ada (Attia Nur, Demos, 2013).

Patut disayangkan fakta itu, sebab bagaimanapun juga publik berhak tahu siapa calon wakilnya diparlamen. Entah disadari atau tidak oleh parpol kita, situasi itu menjauhkan pemilu dari substansi demokrasi. Sebab pemilu--dalam arti substansi--merupakan salah satu cara untuk menjaring wakil rakyat yang kapasitasnya layak diketahui publik.

Empat Soal
Dengan situasi seperti itu, setidaknya terbit beberapa fenomena buruk terkait pen-caleg-an, khususnya di Sulsel. Fenomena buruk itu begitu kentara terjadi. Pertama, kapasitas sumberdaya manusia (SDM) caleg terlihat kabur dimata publik. Sampai hari ini, ribuan baligho caleg dari ukuran kecil hingga ukuran raksasa hadir diruang-ruang publik. Tetapi, baligho-baligho itu sedikitpun tak dapat merepresentasikan kapasitas SDM caleg bersangkutan.

Kita patut khawatir dengan soal ini, sebab caleg adalah calon yang akan menjadi perwakilan politik rakyat banyak. Menjadi wakil rakyat, modal paling utama adalah kapasitas SDM yang relevan. Sebab untuk apa duduk dikursi legislator bila tak mampu bekerja untuk rakyat? Sayangnya, parpol kita tidak memperhitungkan aspek ini. Yang cenderung diutamakan parpol adalah merekrut caleg berdasarkan kapasitas finansial dan popularitas. Dan popularitas ini acapkali ditentukan pula oleh kapasitas finansial.

Kedua, caleg tidak kreatif membangun gagasan politik secara spesifik yang bisa meyakinkan kita bahwa yang bersangkutan layak jadi wakil rakyat. Ini efek lanjut dari masalah kapasitas SDM yang serba kabur. Kita bisa saksikan, bagaimana baliho dan alat peraga para caleg berbicara isu-isu makro yang mengambang. Kita tak mampu menangkap ide brilian yang spesifik sesuai konteks warga di dapil caleg bersangkutan. Absurditas lantas menjadi ciri umum dari ide-ide politik yang disebar para caleg.

Ketiga, kita lalu sulit membedakan antara caleg satu dengan lainnya. Yang terasa berbeda hanyalah dapil dan atribut parpol masing-masing caleg. Selain karena aspek kapasitas SDM dan krisis kreativitas, aspek ini dipengaruhi oleh kegagalan caleg menyelami ideologi parpolnya. Kegagalan ini sesungguhnya diawali dari buruknya tata kelola parpol kita. Padahal, ideologi perjuangan parpol adalah pembeda mendasar setiap parpol.

Keempat, kentalnya jaringan kekerabatan lintas parpol dilevel para caleg. Satu parpol misalnya diisi oleh sejumlah karib kerabat yang sama. Dan seorang caleg punya hubungan kekerabatan dengan caleg lainnya di parpol yang berbeda.
Jaringan kekerabatan ini seolah telah dikonsolidasikan sebelumnya bahwa karib kerabat harus didistribusi ke seluruh parpol untuk menjadi caleg pada Pemilu 2014 mendatang. Ditinjau dari arti demokrasi dalam makna prosedural mungkin tak ada soal. Tetapi jika dianalisis dalam perspektif demokrasi substansial kelihatannya fenomena ini menjadi soal.

Mengapa? Sebab ini terkait dengan aspek kapasitas SDM dan kesempatan yang sama bagi kader parpol lainnya. Prinsip dasarnya, parpol sebagai institusi demokrasi formal harus membuka kesempatan yang setara kepada kader dan warga negara lainnya. Parpol bukanlah organisasi kekerabatan/keluarga. Dengan dominasi kerabat dalam susunan caleg parpol dan lintasparpol seperti itu, niscaya hanya akan memperburuk citra parpol yang sejak dulu memang buruk di mata publik.
Dengan keempat persoalan itu nampaknya akan terasa sulit bagi kita berharap banyak hadirnya legislator-legislator yang benar-benar mampu menjalankan fungsi sebagai wakil rakyat dimasa datang. Keempat soal itu malah berpotensi memacetkan lembaga perwakilan politik rakyat.(*)

Sumber: tribunnews.com

No comments:

Post a Comment