Pemilu 2014 tinggal beberapa bulan lagi. Partai politik sejak lama sudah
menyiapkan calegnya untuk dipilih oleh rakyat. Dan rakyat, mau tak mau
harus memilih diantara caleg-caleg yang disuguhkan masing-masing parpol.
Nyaris
tak ada ruang negosiasi yang dibangun untuk rakyat ditengah penentuan
caleg-caleg parpol itu. Rakyat (sebagai pemilih) benar-benar hanya
dipandang sebagai subjek yang bisu. Rakyat, seolah "wajib" menerima
kontestan caleg yang ditawarkan parpol.
Malang niang, nampaknya
rakyat sengaja dibiarkan sebagai subjek yang bisu. Sebab sesungguhnya,
parpol boleh saja berkreasi membangun mekanisme untuk menjaring
caleg-caleg yang dikehendaki rakyat. Kreasi itu bisa ditempuh dengan
berbagai metode sepanjang substansinya tercapai, yakni; mendapatkan
caleg selera rakyat, bukan selera elit parpol.
Apa lacur, sampai kini
rakyat tak pernah tahu apa pertimbangan parpol mengusung
caleg-calegnya. Apa dasar parpol untuk memasukkan seseorang dalam daftar
caleg? Apakah karena ia kader partai? Atau orang lain yang dekat dengan
elit partai? Apakah ia tokoh masyarakat, tokoh yang dikenal karena
jejak rekamnya dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat? Atau karena
ia tokoh an sich, tanpa mempedulikan jejak rekam atau kinerjanya, dan
murni hanya persoalan dikenal dan tidak dikenal? Di mana peran kader dan
publik dalam menentukan kriteria tersebut? Tanpa ragu kita bisa
menjawabnya dengan jelas: tidak ada (Attia Nur, Demos, 2013).
Patut
disayangkan fakta itu, sebab bagaimanapun juga publik berhak tahu siapa
calon wakilnya diparlamen. Entah disadari atau tidak oleh parpol kita,
situasi itu menjauhkan pemilu dari substansi demokrasi. Sebab
pemilu--dalam arti substansi--merupakan salah satu cara untuk menjaring
wakil rakyat yang kapasitasnya layak diketahui publik.
Empat Soal
Dengan
situasi seperti itu, setidaknya terbit beberapa fenomena buruk terkait
pen-caleg-an, khususnya di Sulsel. Fenomena buruk itu begitu kentara
terjadi. Pertama, kapasitas sumberdaya manusia (SDM) caleg terlihat
kabur dimata publik. Sampai hari ini, ribuan baligho caleg dari ukuran
kecil hingga ukuran raksasa hadir diruang-ruang publik. Tetapi,
baligho-baligho itu sedikitpun tak dapat merepresentasikan kapasitas SDM
caleg bersangkutan.
Kita patut khawatir dengan soal ini, sebab caleg
adalah calon yang akan menjadi perwakilan politik rakyat banyak.
Menjadi wakil rakyat, modal paling utama adalah kapasitas SDM yang
relevan. Sebab untuk apa duduk dikursi legislator bila tak mampu bekerja
untuk rakyat? Sayangnya, parpol kita tidak memperhitungkan aspek ini.
Yang cenderung diutamakan parpol adalah merekrut caleg berdasarkan
kapasitas finansial dan popularitas. Dan popularitas ini acapkali
ditentukan pula oleh kapasitas finansial.
Kedua, caleg tidak kreatif
membangun gagasan politik secara spesifik yang bisa meyakinkan kita
bahwa yang bersangkutan layak jadi wakil rakyat. Ini efek lanjut dari
masalah kapasitas SDM yang serba kabur. Kita bisa saksikan, bagaimana
baliho dan alat peraga para caleg berbicara isu-isu makro yang
mengambang. Kita tak mampu menangkap ide brilian yang spesifik sesuai
konteks warga di dapil caleg bersangkutan. Absurditas lantas menjadi
ciri umum dari ide-ide politik yang disebar para caleg.
Ketiga, kita
lalu sulit membedakan antara caleg satu dengan lainnya. Yang terasa
berbeda hanyalah dapil dan atribut parpol masing-masing caleg. Selain
karena aspek kapasitas SDM dan krisis kreativitas, aspek ini dipengaruhi
oleh kegagalan caleg menyelami ideologi parpolnya. Kegagalan ini
sesungguhnya diawali dari buruknya tata kelola parpol kita. Padahal,
ideologi perjuangan parpol adalah pembeda mendasar setiap parpol.
Keempat,
kentalnya jaringan kekerabatan lintas parpol dilevel para caleg. Satu
parpol misalnya diisi oleh sejumlah karib kerabat yang sama. Dan seorang
caleg punya hubungan kekerabatan dengan caleg lainnya di parpol yang
berbeda.
Jaringan kekerabatan ini seolah telah dikonsolidasikan
sebelumnya bahwa karib kerabat harus didistribusi ke seluruh parpol
untuk menjadi caleg pada Pemilu 2014 mendatang. Ditinjau dari arti
demokrasi dalam makna prosedural mungkin tak ada soal. Tetapi jika
dianalisis dalam perspektif demokrasi substansial kelihatannya fenomena
ini menjadi soal.
Mengapa? Sebab ini terkait dengan aspek kapasitas
SDM dan kesempatan yang sama bagi kader parpol lainnya. Prinsip
dasarnya, parpol sebagai institusi demokrasi formal harus membuka
kesempatan yang setara kepada kader dan warga negara lainnya. Parpol
bukanlah organisasi kekerabatan/keluarga. Dengan dominasi kerabat dalam
susunan caleg parpol dan lintasparpol seperti itu, niscaya hanya akan
memperburuk citra parpol yang sejak dulu memang buruk di mata publik.
Dengan
keempat persoalan itu nampaknya akan terasa sulit bagi kita berharap
banyak hadirnya legislator-legislator yang benar-benar mampu menjalankan
fungsi sebagai wakil rakyat dimasa datang. Keempat soal itu malah
berpotensi memacetkan lembaga perwakilan politik rakyat.(*)
Sumber: tribunnews.com
No comments:
Post a Comment