Ponari, begitu pula Dewi Sulistiyowati dan entah siapa lagi bakal menyusul, telah menjadi sebuah fenomena berkat batu yang mereka temukan. Tapi yang lebih fenomenal dari itu semua adalah ribuan atau bahkan jutaan ummat manusia yang “tersihir” dan percaya terhadap eksistensi “batu petir” dalam proses penyembuhan.
Bicara tentang batu, ummat Islam telah mengenal Hajar Aswad sebagai batu yang paling populer di tengah-tengah kehidupan beragama mereka, karena letak keberadaannya (di dinding Ka’bah) dan posisinya di dalam jiwa kaum muslimin, karena kaitannya dengan ibadah thawaf.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, satu-satunya tauladan ummat, di dalam thawafnya mencontohkan untuk mencium batu ini setiap kali melewatinya pada putaran thawaf atau menyentuhnya bagi yang mampu atau melambai ke arahnya. Demikian istimewanya batu ini, sampai-sampai thawaf tidak dianggap sah kalau tidak memulai thawaf dari arah yang sejajar dengannya. Sehingga jadilah batu ini salah satu dari syi’ar-syi’ar Islam yang wajib dimuliakan, menurut aturan syariat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati”. (Qs. Al Hajj: 32)Tapi kendati pun demikian, batu adalah batu, dia tidak bisa memberi manfaat kepada siapa pun, atau pun mencelakakannya. Adapun kita sampai menciumnya, itu tidak lebih semata-mata dalam rangka menauladani apa yang diperbuat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai tauladan bagi manusia. Dan konsep ini sangat dipahami sekali oleh generasi pertama ummat ini, para salaf, sampai-sampai Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu, Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang kedua, ketika menciumnya, ia berkata,
إني أعلم أنك حجر لا تضر ولا تنفع ولولا أني رأيت النبي صلى الله عليه و سلم يقبلك ما قبلتك
“Sesungguhnya Aku benar-benar tahu bahwa kamu hanya batu, tidak
bisa memberi manfaat atau celaka, kalau saja Aku tidak melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menciummu, Aku tidak akan menciummu”. Muttafaqun ‘Alaihi dari Umar Radhiyallahu ‘Anhu.Kembali kepada batu Ponari, batu Dewi Sulistiyowati dan batu fulan dan fulan…dst. Terlepas dari pernyataan para pasien yang mengaku sembuh setelah meminum air celupan batu tersebut dan terlepas dari sibuknya para dokter yang menyatakan bahwa itu hanya disebabkan faktor sugesti, yang diakui dunia medis sebagai salah satu faktor penyembuh juga. Saat ini batu-batu tersebut telah menjerumuskan ummat kepada kesyirikan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena mereka yang mengakui eksistensi batu tersebut dalam proses penyembuhan, tidak lepas dari tiga kelompok manusia:
Yang pertama: mereka yang meyakini bahwa kesembuhan semata-mata berkat kekuatan batu, tidak ada campur tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam hal ini. Maka mereka telah jatuh kepada kesyirikan yang besar. Karena mereka telah meyakini ada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menyembuhkan.
Yang kedua: mereka yang meyakini bahwa kesembuhan datangnya dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata dan batu hanya sebagai sebab. Maka mereka telah terjatuh kepada syirik kecil, karena mereka telah menjadikan sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab.
Dan yang ketiga: juga merupakan syirik kecil, yaitu mereka yang meyakini batu tersebut ada barakahnya. Sehingga mereka berebut meminum air celupannya dengan niatan mengharap barakahnya.
Al Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Waqid Al Laitsi Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkisah, “Kami pergi bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menuju Hunain dan (waktu itu) kami belum lama masuk Islam. Dan orang-orang musyrikin mempunyai pohon Bidara yang mereka jadikan tempat semedi dan menggantungkan senjata-senjata mereka dibawahnya (mengharapkan barakahnya) yang mereka namakan dengan sebutan Dzatu Anwath. Maka (ketika) kami melewati sebuah pohon Bidara, kami berkata: Wahai Rasulullah! Buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath seperti orang-orang musyrikin punya Dzatu Anwath.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Allahu Akbar! Sesungguhnya ini adalah suatu jalan/ajaran, apa yang kalian ucapkan –demi Yang jiwaku berada di Tangan-Nya- persis seperti yang pernah diucapkan Bani Israil kepada Musa, “Buatkanlah untuk kami sesembahan (selain Allah) sebagaimana mereka punya sesembahan, Musa berkata: kalian adalah kaum yang jahil”. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melanjutkan: kalian akan benar-benar mengikuti jalan-jalan ummat sebelum kalian”.
Dan ketahuilah kesyirikan apa pun bentuknya merupakan kedzaliman yang paling besar, lebih besar dari membunuh, mencuri, korupsi, berzina, memakan riba…dst. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar”. (Qs. Luqman: 13)Dan kesyirikan adalah dosa yang tidak diampuni,
إِنَّ
اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن
يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia
telah berbuat dosa yang besar”. (Qs. An-Nisaa: 48)Dan karena kesyirikan (besar), Allah Subhanahu Wa Ta’ala haramkan seseorang masuk ke dalam surga,
إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah,
maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah
neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”. (Qs. Al Maidah: 72)Dan banyak lagi kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh dosa kesyirikan. Maka wajib bagi ulama Islam, tokoh-tokoh agama untuk menerangkan masalah ini kepada ummat dan mencegah mereka dari terperosok ke dalam jurang-jurang kebinasaan, sebagaimana wajib bagi pihak yang berwajib untuk menutup praktek pengobatan ini serta praktek-praktek yang serupa, karena ini semua hanya berakibat pada kerugian bangsa, negara dan ummat seluruhnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَإِذَ
أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ
لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاء ظُهُورِهِمْ
وَاشْتَرَوْاْ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang
yang telah diberi kitab (yaitu):”Hendaklah kamu menerangkan isi kitab
itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,” lalu mereka
melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya
dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima”. (Qs. Ali Imran: 187)Wallahua’lam bis shawab. Wa’aakhiru Da’waana Anilhamdulillahi Rabbil ‘Aalamin.
Sumber: http://www.mimbarislami.or.id/?module=artikel&action=detail&arid=159
No comments:
Post a Comment