Di Indonesia praktek perdukunan sudah
berlangsung lama. Praktek perdukunan sudah ada sejak zaman animisme dan
dinamisme. Jadi, dapat diperkirakan bahwa praktek perdukunan ini sudah berumur
ratusan tahun. Hingga di zaman moderen seperti saat ini, praktek seperti ini
masih banyak diminati oleh orang-orang. Padahal, kemajuan keilmuan seperti saat
ini yang selalu didasari oleh logika, tentu seharusnya dapat mematahkan keilmuan
para pelaku praktek perdukunan yang tidak didasari oleh ilmu yang logis dan
metedolgi yang jelas dalam menerangkan praktek perdukunan.
Sebagian orang percaya bahwa para pelaku
perdukunan memiliki kekuatan mistis yang didapatkan dengan berbagai cara. Ada
yang didapatkan secara langsung oleh para leluhurnya, ada yang mencari dengan
melakukan berbagai ritual, dan masih banyak lagi. Dari kekuatan gaib yang
mereka dapatkan, mereka memiliki kemampuan untuk mengobati, mengetahui nasib ke
depan seseorang, merubah nasib, memasangkan suatu jimat yang dapat mengabulkan
keinginan si peminta, melipat gandakan harta, bahkan mereka dapat mencelakaan
seseorang.
Para pelaku praktek perdukunan memiliki
dalih yang bermacam-macam mengenai sumber ilmu yang mereka dapatkan. Sebagian
dari mereka berdalih bahwa ilmu yang mereka dapatkan adalah sebuah kelebihan
atau karomah yang Tuhan berikan kepada mereka. Sebagian yang lain berdalih
bahwa mereka dapatkan ilmu gaib tersebut dari para leluhur mereka. Sisanya
berdalih bahwa ilmu yang mereka dapatkan dari kekuatan jin yang dipinjamkan
kepada mereka.
Perkembangan keilmuan pada zaman ini
didasarkan kepada logika yang kemudian mereka buktikan melalui serangkaian
pembuktian sesuai dengan metedologi yang ada. Perkembangan keilmuan sendiri cenderung
hanya dapat membuktikan segala sesuatu yang nampak dan nyata. Ketika kita
melihat praktek perdukunan melalui kacamata keilmuan zaman sekarang, tentu para
ilmuan akan berkata bahwa apa yang dilakukan oleh para dukun hanya kebohongan
semata atau takhayul. Ilmuan berpendapat mengenai apa yag dilakukan oleh para
dukun itu tidak relevan dengan keadaan sekarang. Semuanya harus ada dasar dan
pembuktian. Sedangkan dalam praktek perdukunan, para dukun tidak memiliki dasar
atau teori yang dapat menjelaskan secara spesifik mengenai keilmuan yang mereka
miliki. Mereka hanya melakukan kebohongan semata, tidak nampak, tidak nyata,
dan tidak masuk di akal. Sehingga mereka tidak dapat membuktikan melalui
serangkaian penelitian bahwa keilmuan mereka itu ada dan layak diakui.
Kesimpulannya, para ilmuan sepakat untuk mengatakan tidak setuju dengan adanya
praktek perdukunan.
Agama Islam mengajarkan kepada umatnya
untuk percaya akan adanya hal-hal yang ghaib. Bukan seperti para ilmuan yang
harus mempercayai sesuatu berdasarkan kepada akalnya, tapi orang Islam harus
percaya dengan keyakinan yang dimilikinya. Hal-hal yang ghaib sukar dijelaskan
hanya dengan sebuah logika atau alur pikiran yang dimiliki oleh manusia. Iman
atau keyakinan adalah kunci untuk mempercayai akan adanya hal-hal yang ghaib.
Fenomena perdukunan sendiri dalam agama
Islam dikenal dengan Kaahin yang
memiliki pengertian sebagai orang-orang yang memiliki kekuatan ghaib atau
supranatural.[1] Penjelasan selanjutnya
dari Imam Nawawi[2] bahwa yang dimaksud dengan
Kaahin atau arraf adalah orang-orang yang mengaku-ngaku mengetahui peristiwa
yang akan terjadi, rahasia-rahasi ghaib, dan keberadaan benda-benda yang hilang
atau di curi. Orang-orang yang termasuk dalam kriteria seperti yang telah
dijelaskan oleh Imam Nawawi sesungguhnya dilaknat oleh agama Islam[3].
Pasalnya apa yang telah mereka lakukan adalah menyalahi kehendak Tuhan. Para
Pelaku Perdukunan selalu mengaku-ngaku memiliki kemampuan seperti seakan-akan
menyamakan dirinya seperti Tuhan. Padahal Tuhan itu Esa, tidak ada satupun yang
dapat menyamainya.
Dalam kesepakatannya, para ulama
memiliki pendapat yang berbeda-beda dengan hukum praktek perdukunan. Sebagian
para ulama berpendapat bahwa hukum dari perdukunan adalah musyrik, karena
mereka telah menyukutukan Allah dengan meminta kekuatan kepada jin. Ulama lain
berpendapat nahwa hukum praktek perdukunan termasuk ke dalam Kafir. Sedangkan
ulama lain berpendapat bahwa hukum perdukanan hanya termasuk ke dalam dosa
besar.
Untuk orang-orang yang mempercayai
dengan kebenaran dukun atau bahkan meminta tolong kepada dukun, dalam sebuah
riwayat Rasulullah bersabda, “siapapun yang mendatangi dukun dan menanyakan
tentang suatu hal maka dia tidak akan diterima taubatnya selama 40 hari, sedang
kalu ia percaya terhadap apa yang diucapkannya maka ia telah kafir
(HR.Thabrani)”. Hadist ini menjelaskan bahwa Islam tidak main-main dalam
menyikapi praktek perdukunan. Perdukunan telah menodai kuasa Tuhan akan segala
sesuatu yang ghaib. Allah yang menciptakan keghaiban, dan hanya Allah-lah yang
memiliki kehendak atasnya.
Ini merupakan sebagian kecil mengenai
pandangan Islam terhadap praktek perdukunan. Perdukunan bukanlah masalah kecil.
Hal ini berkaitan dengan penyalahgunaan kuasa Tuhan yang dilakukan oleh para
pelaku perdukunan. Hanya Allah yang mengetahui hukum apa yang pantas untuk
diberikan kepada mereka. Kita sebagai manusia tentunya senantiasa untuk selalu
berusaha meningkatkan keimanan kita kepada Allah dengan menjalankan semua
perintahnya sesuai dengan yang telah disyariatkan. Karena kita sebagai manusia
adalah makhluk yang lemah. Hanya kepada Allah-lah kita meminta, karena
kesempurnaan hanya milik Allah. Kelak, Allah-lah yang akan langsung menghakimi
perbuatan mereka. Wallahua’lam.
No comments:
Post a Comment