Fenomena Pengemis "Tajir" di Indonesia dan Solusi Bagi Pengemis
Beberapa
hari yg lalu, saya terkejut ketika membaca 'thread' yg ada di forum
terbesar di Indoneisia, yaitu kaskus. Di thread tersebut di beritakan
bahwa seorang pengemis di kawasan Blok M Jakarta yg berpenghasilan 15
juta/bulan (http://goo.gl/4XQG4).
Sungguh luar biasa, pendapatannya jauh melebihi PNS yg mungkin
pendapatan terbesarnya hanya 6 juta/bulan. Ini belum seberapa, ketika
saya mencari artikel serupa ternyata ada seorang bapak yg bernama Cak
Tok, seorang bos pengemis, yg memiliki kekayaan 2 rumah di Madura, 1
Rumah di Surabaya, 2 motor Supra fit, dan 1 mobil CR-V (http://goo.gl/ly1cr).
Luar biasa! ternyata menjadi pengemis adalah profesi yg sangat
'menggiurkan'. Pertanyaannya, apakah semua pengemis seperti itu?
Jawabannya ialah tidak, ternyata bayak orang yg mengemis dikarenakan
berbagai keadaan, seperti cacad, terkena musibah, dan orang yg
benar-benar membutuhkan bantuan. Namun kenyataan di atas, tidak
memungkiri fakta sekarang bahwa banyak masyarakat yg miskin harta
ataupun miskin 'mental'.
Islam Memandang Pengemis
Untuk kasus yg pertama, hukumnya adalah haram. Alasannya karena mereka
menipu dan merampas hak orang miskin yg benar-benar membutuhkan bantuan.
Baik caranya dengan mengemis secara konvensional, ataupun mengemis
menggunakan lembaga fiktif.
Dalilnya ialah:
Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ.
"Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api". HR Ahmad
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia
berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.
"Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan
datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di
wajahnya". Muttafaqun ‘alaihi
Untuk kasus yg kedua, hukumnya
boleh namun hanya kepada penguasa. Hal ini dikarenakan penguasa adalah
orang yg berwenang atas Baitul Maal dan bertanggung jawab atas kaum
muslimin. Namun, tidak boleh sering-sering meminta kepada penguasa,
sebagaimana hadits Hakiim bin Hizaam Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
Aku meminta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas
beliau memberiku. Kemudian aku minta lagi, dan Rasulullah memberiku.
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا
حَكِيْمُ، إِنَّ هَذَا الْـمَـالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ
بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْه ِ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ
نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيْهِ ، وَكَانَ كَالَّذِيْ يَأْكُلُ وَلَا
يَشْبَعُ. الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى.
"Wahai Hakiim! Sesungguhnya harta itu indah dan manis. Barang siapa
mengambilnya dengan berlapang hati, maka akan diberikan berkah padanya.
Barang siapa mengambilnya dengan kerakusan (mengharap-harap harta), maka
Allah tidak memberikan berkah kepadanya, dan perumpamaannya (orang yang
meminta dengan mengharap-harap) bagaikan orang yang makan, tetapi ia
tidak kenyang (karena tidak ada berkah padanya). Tangan yang di atas
(yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta)".
Solusi Islam Terhadap Pengemis
Islam telah menetapkan kebutuhan primer manusia, yaitu kebutuhan akan
sandang, pangan dan papan, kebutuhan atas kesehatan, dan kebutuhan atas
keamanan. Sebagai kebutuhan primer, tentu pemenuhannya atas setiap
individu, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, Islam
memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini dengan beberapa
mekanisme, yaitu:
1. Mewajibkan Laki-laki Memberi Nafkah Kepada Diri dan Keluarganya.
Islam mewajibkan laki-laki yang mampu dan membutuhkan nafkah, untuk
bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Allah SWT berfirman:
”Maka berjalanlah ke segala penjuru, serta makanlah sebagian dari rizeki-Nya.” (Qs. al-Mulk[67]: 15).
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Aku mendengan Rasulullah Saw bersabda:
“Salah seorang diantara kalian pergi pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar,
lalu memikulnya dan berbuat baik dengannya (menjualnya), sehingga dia
tidak lagi memerlukan pemberian manusia, maka itu baik baginya daripada
dia mengemis pada seseorang yang mungkin memberinya atau menolaknya.”
Muttafaqun 'alaih.
Faktanya pada zaman sekarang, sulit sekali
bagi orang untuk menemukan pekerjaan. Pada tahun 2012 saja pengangguran
terbuka (tidak termasuk serabutan) mencapai 7, 61 juta orang (http://goo.gl/r7dzt). Kalau itu sebabnya, maka kita beralih kemekanisme selanjutnya.
2. Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya
Realitas menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki punya kemampuan untuk
bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada yang cacat mental atau fisik,
sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua ini termasuk
ke dalam orang-orang yang tidak mampu bekerja. Jika demikian keadaannya
lalu siapa yang akan menanggung kebutuhan nafkahnya? Dalam kasus semacam
ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan
darah, untuk membantu mereka. Allah SWT berfirman:
“…Dan
kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara
yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Dan warispun berkewajiban
demikian…” (Qs. al-Baqarah [2]: 233).
Maksudnya, seorang waris
berkewajiban sama seperti seorang ayah, dari segi nafkan dan pakaian.
Yang dimaksud waris di sini, bukan berarti orang yang secara langsung
bisa mewarisi. Melainkan, yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak
mendapatkan waris.5
Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi
tidak mampu memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka
kewajiban memenuhi nafkah, beralih ke kerabat dekatnya. Jika kerabat
dekat diberi kewajiban untuk membantu saudaranya yang tidak mampu,
bukankah hal ini akan menyebabkan kemiskinan para keluarganya dan dapat
berdampak pada menurunnya taraf kehidupan mereka? Tidak dapat dikatakan
demikian! Sebab, nafkah tidak diwajibkan oleh syara’ kepada keluarga,
kecuali apabila terdapat kelebihan harta. Orang yang tidak memiliki
kelebihan, tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi nafkah
tidak wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya.
Orang
yang mampu menurut syara’ adalah orang yang memiliki harta lebih dari
kebutuhan-kebutuhuan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan
pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standart masyarakat
sekitarnya. Rasulullah Saw bersabda:
“Sebaik-baik sedekah adalah harta yang berasal dari selebihnya keperluan.” [HR. Imam Bukhari dari Abu Hurairah].
“Tangan di atas (memberi) itu lebih baik dari tangan di bawah
(meminta), mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu, dan
sebaik-baik sedekah adalah dari selebihnya keperluan.’ [HR. Nasa’i,
Muslim, dan Ahmad dari Abu Harairah].
Yang dimaksud al-Ghina
(selebihnya keperluan) di sini adalah harta di mana manusia (dengan
keadaan yang dimilkinya) sudah tidak butuh lagi apa-apa buat mencukupi
level pemenuhan kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan
pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standart masyarakat
sekitarnya.
3. Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin
Bagaimana jika seseorang yang tidak mampu tersebut tidak memiliki
kerabat? Atau dia memiliki kerabat, akan tetapi hidupnya pas-pasan?
Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul
Mal (kas negara). Dengan kata lain, negara melalui Baitul Mal,
berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah Saw pernah
bersabda:
“Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu
untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang, meninggalkan ‘kalla’, maka dia
menjadi kewajiban kami.” [HR. Imam Muslim].
Yang dimaksud
kalla adalah oang yang lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai
orang tua. Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang
tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas zakat. Allah SWT
berfirman:
“Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin…” (Qs. at-Taubah [9]: 60).
Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara wajib mencarinya dari kas lain, dari Baitul Mal.
Pertanyaannya sekarang, apakah negara kita membantu dan menjamin
kehidupan rakyat miskin? Berdasarkan fakta saat ini, jawabannya adalah:
"Tidak!!". Maka dari itu, sudah jelas bahwa fenomena 'mengemis' adalah
fenomena yg sistemik, dimulai dari mental seseorang yg 'miskin',
kemudian kerabat yg bernasib tidak lebih baik, dan terakhir negara yg
tidak bertanggung jawab kepada rakyatnya. Oleh karena itu, sudah saatnya
kini kita kembali kepada Sistem yg berasal dari Tuhan yg Maha Adil dan
Mengetahui, tidak lain adalah Allah subhanahu wa Ta'ala. yaitu dengan
menggunakan ekonomi Islam dalam negara dalam bingkai Daulah Khilafah.
Insya Allah, dengan ekonomi Islam maka fenomena-fenomena yg berhubungan
dengan pengemis akan hilang dengan sendirinya. WaLlahu a'lam bish
shawaab..
No comments:
Post a Comment