Monday, December 30, 2013

Fenomena Pengemis "Tajir" di Indonesia dan Solusi Bagi Pengemis

Beberapa hari yg lalu, saya terkejut ketika membaca 'thread' yg ada di forum terbesar di Indoneisia, yaitu kaskus. Di thread tersebut di beritakan bahwa seorang pengemis di kawasan Blok M Jakarta yg berpenghasilan 15 juta/bulan (http://goo.gl/4XQG4). Sungguh luar biasa, pendapatannya jauh melebihi PNS yg mungkin pendapatan terbesarnya hanya 6 juta/bulan. Ini belum seberapa, ketika saya mencari artikel serupa ternyata ada seorang bapak yg bernama Cak Tok, seorang bos pengemis, yg memiliki kekayaan 2 rumah di Madura, 1 Rumah di Surabaya, 2 motor Supra fit, dan 1 mobil CR-V (http://goo.gl/ly1cr).

Luar biasa! ternyata menjadi pengemis adalah profesi yg sangat 'menggiurkan'. Pertanyaannya, apakah semua pengemis seperti itu? Jawabannya ialah tidak, ternyata bayak orang yg mengemis dikarenakan berbagai keadaan, seperti cacad, terkena musibah, dan orang yg benar-benar membutuhkan bantuan. Namun kenyataan di atas, tidak memungkiri fakta sekarang bahwa banyak masyarakat yg miskin harta ataupun miskin 'mental'.

Islam Memandang Pengemis

Untuk kasus yg pertama, hukumnya adalah haram. Alasannya karena mereka menipu dan merampas hak orang miskin yg benar-benar membutuhkan bantuan. Baik caranya dengan mengemis secara konvensional, ataupun mengemis menggunakan lembaga fiktif.

Dalilnya ialah:
Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ.

"Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api". HR Ahmad

Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.

"Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya". Muttafaqun ‘alaihi

Untuk kasus yg kedua, hukumnya boleh namun hanya kepada penguasa. Hal ini dikarenakan penguasa adalah orang yg berwenang atas Baitul Maal dan bertanggung jawab atas kaum muslimin. Namun, tidak boleh sering-sering meminta kepada penguasa, sebagaimana hadits Hakiim bin Hizaam Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Aku meminta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas beliau memberiku. Kemudian aku minta lagi, dan Rasulullah memberiku. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَا حَكِيْمُ، إِنَّ هَذَا الْـمَـالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْه ِ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيْهِ ، وَكَانَ كَالَّذِيْ يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ. الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى.

"Wahai Hakiim! Sesungguhnya harta itu indah dan manis. Barang siapa mengambilnya dengan berlapang hati, maka akan diberikan berkah padanya. Barang siapa mengambilnya dengan kerakusan (mengharap-harap harta), maka Allah tidak memberikan berkah kepadanya, dan perumpamaannya (orang yang meminta dengan mengharap-harap) bagaikan orang yang makan, tetapi ia tidak kenyang (karena tidak ada berkah padanya). Tangan yang di atas (yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta)".

Solusi Islam Terhadap Pengemis

Islam telah menetapkan kebutuhan primer manusia, yaitu kebutuhan akan sandang, pangan dan papan, kebutuhan atas kesehatan, dan kebutuhan atas keamanan. Sebagai kebutuhan primer, tentu pemenuhannya atas setiap individu, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, Islam memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini dengan beberapa mekanisme, yaitu:

1. Mewajibkan Laki-laki Memberi Nafkah Kepada Diri dan Keluarganya.

Islam mewajibkan laki-laki yang mampu dan membutuhkan nafkah, untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Allah SWT berfirman:

”Maka berjalanlah ke segala penjuru, serta makanlah sebagian dari rizeki-Nya.” (Qs. al-Mulk[67]: 15).

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Aku mendengan Rasulullah Saw bersabda:
“Salah seorang diantara kalian pergi pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar, lalu memikulnya dan berbuat baik dengannya (menjualnya), sehingga dia tidak lagi memerlukan pemberian manusia, maka itu baik baginya daripada dia mengemis pada seseorang yang mungkin memberinya atau menolaknya.” Muttafaqun 'alaih.

Faktanya pada zaman sekarang, sulit sekali bagi orang untuk menemukan pekerjaan. Pada tahun 2012 saja pengangguran terbuka (tidak termasuk serabutan) mencapai 7, 61 juta orang (http://goo.gl/r7dzt). Kalau itu sebabnya, maka kita beralih kemekanisme selanjutnya.

2. Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya

Realitas menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada yang cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam orang-orang yang tidak mampu bekerja. Jika demikian keadaannya lalu siapa yang akan menanggung kebutuhan nafkahnya? Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu mereka. Allah SWT berfirman:

“…Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian…” (Qs. al-Baqarah [2]: 233).

Maksudnya, seorang waris berkewajiban sama seperti seorang ayah, dari segi nafkan dan pakaian. Yang dimaksud waris di sini, bukan berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi. Melainkan, yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris.5

Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi tidak mampu memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban memenuhi nafkah, beralih ke kerabat dekatnya. Jika kerabat dekat diberi kewajiban untuk membantu saudaranya yang tidak mampu, bukankah hal ini akan menyebabkan kemiskinan para keluarganya dan dapat berdampak pada menurunnya taraf kehidupan mereka? Tidak dapat dikatakan demikian! Sebab, nafkah tidak diwajibkan oleh syara’ kepada keluarga, kecuali apabila terdapat kelebihan harta. Orang yang tidak memiliki kelebihan, tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi nafkah tidak wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya.

Orang yang mampu menurut syara’ adalah orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhuan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standart masyarakat sekitarnya. Rasulullah Saw bersabda:

“Sebaik-baik sedekah adalah harta yang berasal dari selebihnya keperluan.” [HR. Imam Bukhari dari Abu Hurairah].

“Tangan di atas (memberi) itu lebih baik dari tangan di bawah (meminta), mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu, dan sebaik-baik sedekah adalah dari selebihnya keperluan.’ [HR. Nasa’i, Muslim, dan Ahmad dari Abu Harairah].

Yang dimaksud al-Ghina (selebihnya keperluan) di sini adalah harta di mana manusia (dengan keadaan yang dimilkinya) sudah tidak butuh lagi apa-apa buat mencukupi level pemenuhan kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standart masyarakat sekitarnya.

3. Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin

Bagaimana jika seseorang yang tidak mampu tersebut tidak memiliki kerabat? Atau dia memiliki kerabat, akan tetapi hidupnya pas-pasan? Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kas negara). Dengan kata lain, negara melalui Baitul Mal, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah Saw pernah bersabda:

“Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang, meninggalkan ‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami.” [HR. Imam Muslim].

Yang dimaksud kalla adalah oang yang lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai orang tua. Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas zakat. Allah SWT berfirman:

“Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin…” (Qs. at-Taubah [9]: 60).

Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara wajib mencarinya dari kas lain, dari Baitul Mal.

Pertanyaannya sekarang, apakah negara kita membantu dan menjamin kehidupan rakyat miskin? Berdasarkan fakta saat ini, jawabannya adalah: "Tidak!!". Maka dari itu, sudah jelas bahwa fenomena 'mengemis' adalah fenomena yg sistemik, dimulai dari mental seseorang yg 'miskin', kemudian kerabat yg bernasib tidak lebih baik, dan terakhir negara yg tidak bertanggung jawab kepada rakyatnya. Oleh karena itu, sudah saatnya kini kita kembali kepada Sistem yg berasal dari Tuhan yg Maha Adil dan Mengetahui, tidak lain adalah Allah subhanahu wa Ta'ala. yaitu dengan menggunakan ekonomi Islam dalam negara dalam bingkai Daulah Khilafah. Insya Allah, dengan ekonomi Islam maka fenomena-fenomena yg berhubungan dengan pengemis akan hilang dengan sendirinya. WaLlahu a'lam bish shawaab..

No comments:

Post a Comment