Beberapa hari belakangan ini media massa dipenuhi
oleh berita tentang penyadapan Australia terhadap Indonesia serta
berbagai reaksinya. Tak hanya di Indonesia, beberapa waktu yang lalu
cerita serupa terjadi di Brasil, dimana terungkap dan diakui sendiri
oleh Brasil bahwa institusi intelijennya selama ini telah menyadap
beberapa diplomat penting Rusia di Brasil. Entah ini merupakan agenda
tersembunyi Edward Snowden ataupun titik nadir atas kenyataan yang
terjadi diseluruh dunia, dimana transparansi, kebebasan informasi dan
nilai lainnya yang selama ini diagung-agungkan ternyata hanya sebuah
ilusi atau bahkan sekedar lip services.
Yang justru menarik terlihat adalah
sikap semakin terbukanya pihak pihak yang selama ini justru terlibat
dalam dunia intelijen (atau setidaknya mengaku sebagai intelijen). Jika
Edward Snowden menjadi kasus internasional, di Indonesia sendiri ini
terjadi, ambil contoh akun twitter @triomacan yang semakin hari semakin
berani mengungkapkan keintelijenannya atau terbukanya salah seorang
mantan Kepala BIN beberapa hari terakhir dalam menceritakan
tindakan-tindakan intelijen yang pernah dilakukan. Bahkan Presiden pun
pernah menguraikan kepada Publik mengenai informasi intelijen seputar
rencana pembunuhan dirinya oleh pihak tertentu.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah informasi
intelijen saat ini sudah memiliki nilai publikasi tersendiri. Ataukah
etika moral tentang ‘keterbukaan informasi’ semakin dituntut publik?,
atau malah justru ini merupakan fenomena perang intelijen yang semakin
terbuka? atau bahkan intelijen sedang menjadi tren sesaat dalam
berpolitik? sebagai pihak awam, jelas hal tersebut menjadi pertanyaan
menarik karena cerita intelijen saat ini sudah menjadi hal yang mulai
umum dipelajari dan sudah bukan lagi sesuatu yang “klandestin”.
Fenomena ini menunjukkan bahwa intelijen saat ini
semakin memiliki nilai ekonomi, baik dari sisi informasi yang diperoleh
maupun pemanfaatan informasi tersebut untuk kepentingan tertentu,
termasuk kepentingan publikasi. Begitu pula yang terjadi dengan kasus
penyadapan Indonesia-Australia dimana secara politik itu
bisa dianggap tidak etis tetapi secara ekonomi hal tersebut menjadi
layak untuk dilakukan. setiap pihak memanfaatkan informasi tersebut
untuk kepentingannya, bahkan jika kita berpikir strategis pengungkapan
ini sedikit banyak juga menguntungkan pemerintah RI untuk meningkatkan
citra diplomasinya di mata publik.
Salah satu kutipan penting yang digunakan para
akademisi tentang nilai ekonomi intelijen ini adalah pernyataan salah
seorang mantan pimpinan intelijen negara eropa yang diwawancarai oleh
CBS dan dikutip oleh Newsweek di tahun 1990an:
“It would not be normal that we do spy on the (United) States in political matters; we are really allied. But in the economic competition, in the technological competition, we are competitors; we are not allied.”
Pernyataan itu masih berlaku saat ini bahkan
semakin berlaku. Dalam persaingan ekonomi dan teknologi negara sekutu
pun adalah pesaing bukan teman. Kenyataan ini menimbulkan kesan bahwa
pernyataan Menteri Luar Negeri RI menanggapi penyadapan Australia
menunjukkan betapa naif dan polosnya Indonesia, tetapi disisi lain Bisa
jadi justru pernyataan tersebut juga merupakan strategi Pemerintah untuk
semakin menguatkan citra di mata masyarakat internasional dan lokal
bahwa Indonesia adalah negara jujur dan tulus dalam berpolitik. Pada
akhirnya semua akan tergantung pada bagaimana setiap aktor
memainkan perannya secara internasional dengan baik dan memanfaatkan
intelijen secara optimal bagi kepentingan dirinya, dan alangkah baiknya
untuk kepentingan masyarakat secara luas. Mengutip pernyataan Prof.
Juwono Sudarsono dihadapan Royal College of Defence Studies, London di Jakarta pada bulan Juli 2010:
What combination of “hard”, “soft” and “smart”
powers must leadership groups in government, in the military and in
private bussiness command in order to be able to connect, cooperate and
at the same time compete with one another as well as with the rest of
the world?
Dalam konteks ketahanan nasional, disinilah peran
para pejabat publik Indonesia dituntut untuk lebih memainkan berbagai
kekuatan yang dimiliki baik secara intelijen maupun diplomasi untuk
tetap berkomunikasi, bekejasama tapi diwaktu bersamaan berkompetisi
secara ekonomi dengan negara lain. Jangan hanya bersikap reaktif tetapi
juga harus mampu memainkan perannya secara maksimal dan mampu
memanfaatkannya bagi kepentingan ekonomi nasional sehingga pada akhirnya
manfaatnya dirasakan sebesar-besarnya bagi kita semua.
Sumber: kompasiana
No comments:
Post a Comment