Monday, December 30, 2013

Fenomena Korupsi, Kesalahan Sistem Atau Penyakit Pribadi


Tak henti-hentinya Indonesia berkabung karena selalu dan selalu ada saja salah satu pejabat publik yang terjerat kasus korupsi, tidak tanggung-tanggung, hampir semua semua strata jabatan publik, salah satu pegawainya tersandung korupsi. Nilainya pun tidak kecil hingga bermilyar-milyar rupiah.
Bentuk dari kejahatan ini bisa berupa markup, cari untung atau berupa suap-menyuap yang melibatkan banyak orang. Sehingga ketika kasus ini diungkap akan ada banyak orang yang terjerat dan masuk ke tahanan KPK.
Pernah suatu hari saya mendengar celoteh seseorang ketika saya tanya tentang begitu banyaknya kasus korupsi ini, “pak, kenapa Indonesia tidak pernah lepas dari korupsi?, beliau menjawab “karena sistemnya memang demikian”, saya tidak mungkin berprasangka atau menduga-duga terkait jawaban yang diberikan kepada orang tersebut. Kebetulan orang tersebut memiliki jabatan di instansi pemerintah. Bahkan ada pula yang sambil menyeringai mengatakan “lha wong air hujan aja sebelum sampai ke tanah harus mampir dulu di talang (saluran air hujan)”. Sebuah ungkapan yang sepertinya tidak sadar diucapkan tapi hakekatnya sudah mendarah daging lantaran begitu rapihnya kejahatan korupsi ini menjerat pelakunya.
Kembali pada jawaban yang cukup mencengangkan tersebut, kembali saya telusuri dengan sejumlah pertanyaan yang sampai saat ini masih mengganjal dalam benak saya, kenapa kejahatan ini bisa dianggap sistem, dianggap biasa bagi kalangan pemerintahan? Sesuatu yang naif dan tentusaja memprihatinkan.
Andaikan memang benar bahwa korupsi ini tidak dapat dihapus lantaran memang kejahatan yang tersistem, tentu saja siapa saja yang terlibat dalam aktifitas kepemerintahan secara otomatis merupakan pelaku korupsi, dan andikan Akil Mochtar merupakan pelaku korupsi serta penerima gratifikasi tentu saja ada banyak orang yang dengan terencana dan tersistem dalam lembaga itu berupaya melegalkan atau bahkan mengkekalkan korupsi. Sehingga kalau diambil benang merah semua orang yang ada di pemerintahan ini secara tidak langsung dapat diseret ke meja hijau dan dijadikan tersangka.
Itu menurut logika berfikir saya. Walaupun mungkin Anda tidak menerima logika saya lantaran mungkin bersih dan tidak pernah melakukan perbuatan nista ini, akan tetapi jika kita telusuri lebih jauh akan ada banyak sebab seseorang tersangkut korupsi meskipun tanpa dia pahami dia ikut menyaksikan, menikmati atau bahkan membiarkan kasus korupsi merajalela dalam instansi Anda.
Kalau memang kasusnya ternyata sistemik tentu saja siapa saja yang berada dalam lingkaran pemerintahan merupakan pelaku yang sama-sama menikmati nikmatnya uang haram ini. Atau paling tidak ikut terjerat lantaran diam saja tatkala atasan atau teman kerja melakukan perbuatan yang melanggar, tidak menutup kemungkinan seseorang yang katanya “terpaksa” korupsi lantaran diancam oleh atasan akan diturunkan jabatannya.
Sebuah fenomena aneh dan mengerikan kini tengah dihadapi bangsa ini dan tentu saja merupakan mimpi buruk anak-anak negeri ini yang harus siap menerima resiko menanggung kebangkrutan negara karena ulah para pemimpin mereka.
 
Korupsi merupakan kejahatan yang disengaja
Dalam ranah hukum pidana, khususnya korupsi tentu saja tidak ada kata alpa atau lupa, karena siapa saja yang terlibat dalam pemerintahan sejatinya adalah orang yang sadar dan sehat secara kejiwaan. Sehingga tidak ada alasan dia melakukan korupsi lantaran ketidak sengajaan.
Sehingga jika ditelusuri kembali ada banyaknya korupsi yang menjerat para petinggi negeri tentu saja memang sudah prilaku secara pribadi doyan korupsi dan tidak ada istilah tidak sengaja atau dipaksa korupsi. Karean hakekatnya kejahatan tersebut dapat dicegah jika pelakuya menyadari bahwa apa yang telah dilakukannya merupakan kejahatan yang tidak dapat dianggap remeh.
Lalu, jika korupsi ini merupakan kejahatan sistematis yang bersifat “memaksa” hakekatnya sistem tersebut dapat diperbaiki dan dirombak agar sistem dalam kasus korupsi itu dapat segera diakhiri. Tentu saja dengan resiko ada banyak orang yang menjadi korban karena proses “bersih-bersih” dalam lembaga yang kemungkinan menyimpan mafia korupsi sehingga secara bertahap kebiasaan lama yang sudah ada segera diakhiri dengan memperbaiki sistemnya, di dalamnya aturan perundang-undangan, komposisi orang-orang yang dicurigai turut menikmati korupsi dan tentu saja memangkas segala bentuk aliran dana yang memungkinkan siapa saja melakukan korupsi dengan mudah.
Hakekatnya kejahatan apapun dapat dicegah dan dapat dihilangkan dengan kesadaran pribadi masing-masing, akan tetapi lebih tepat lagi apabila “sistem” korupsi yang sudah menggurita di negeri ini segera diakhiri menjadi sistem yang lebih bersih dan terawasi sehingga kemungkinan kejahatan ini dapat dihindari.
Metro, Lampung, 02/11/’2013

No comments:

Post a Comment