Monday, December 30, 2013

Fenomena Pendidikan di Indonesia

A.    PENDAHULUAN

Seperti yang telah menjadi perbincangan umum, pendidikan kaitannya dengan pengembangan sumber daya manusia sangatlah diperlukan bagi setiap individu, bahkan pendidikan telah menjadi semacam bahan pokok untuk meneruskan kehidupan, artinya individu akan merasa kurang atau merasa tak akan bisa hidup tanpa adanya pendidikan. Dari kenyataan ini, sudah sangat relevan apabila pemerintah menjunjung tinggi dan menomor satukan pendidikan, tentunya tanpa mengesampingkan kepentingan-kepantingan lain yang mengikuti dan menjadi penunjang pendidikan itu sendiri.



Dalam aplikasinya pendidikan terbagi dalam tiga lingkup yang kesemuanya itu mempunyai satu tujuan yaitu untuk dapat mempersiapkan individu menjadi individu yang layak berkembang dan dapat menjawab tantangan zaman. Pertama, pendidikan formal, dimana model pendidikan ini terkondisi dalam suatu lingkup tertentu yang secara teratur mengikuti dan menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam aplikasinya untuk menyampaikan materi-materi penunjang pendidikan, dengan mengikuti kurikulum dan standar kompetensi yang ditetapkan oleh pemerintah, yang termasuk dalam kategori ini adalah home schooling, full day, boarding house dan sekolah-sekolah formal lain. Kedua, pendidikan informal, pendidikan ini lebih mengacu kepada  apa yang disampaikan dan memiliki kebebasan dalam setiap realisasinya di bidang pendidikan, artinya konsep pendidikan ini walaupun pada dasarnya ternaungi oleh suatu lembaga tetapi model pendidikan ini tidak terpaku dengan apa yang ditetapkan oleh pemerintah, yang termasuk dalam pendidikan ini adalah les, bimbingan belajar, sekolah alam dan semacamnya.   
  

Kemudian, yang ketiga adalah pendidikan non-formal, pendidikan ini adalah pendidikan yang secara alami telah terealisasi dalam kehidupan, model pendidikan ini tidak terpaku pada prinsip-prinsip formalitas, seperti lembaga, kurikulum, pemerintahan dan sebagainya. Beberapa pendidikan yang terliput dalam model ini adalah suatu pembelajaran yang diberikan orang tua dan lingkungan, diskusi-diskusi mengalir dan sebagainya.

Dari kesekian model pendidikan, semuanya telah teraplikasi dengan baik di negara ini, tentunya dengan kekurangan dan kelbihannya masing-masing individu-individu yang menjalankan dan mencoba mengembangkan beberapa model pendidikan tersebut telah memberikan kontribusi yang tidak dapat dikatakan sedikit. Begitu juga kaitannya dengan pemerintah dalam memandang dan menjalankan fungsinya sebagai penggerak pendidikan yang sifatnya formal, pemerintah telah meberikan kontribusi yang secara umum telah dapat dirasakan kemanfaatannya, tetapi walaupun begitu tidak menutup kemungkinan terdapat beberapa keluputan yang dilakukan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam menjalankan amanahnya untuk mewujudkan pendidikan yang lebih baik dan memang layak disebut sebagai pendidikan bukan hanya sekolah belaka.

Kemungkinan-kemungkinan tersebut tentunya tidak hanya terbatas pada pemerintah saja, tetapi juga terkait dengan semua elemen yang bertugas dan berkewajiban menjalankan roda pendidikan di Indonesia, dari mulai guru hingga murid, bahkan sampai kepada orang tua dan masyarakat, karena pada dasarnya proses berjalannya pendidikan sangat erat kaitannya dengan fenomena-fenomena yang melingkupi dan beredar dalam masyarakat.

B.    PENDIDIKAN INDONESIA DAN FENOMENA YANG MELINGKUPINYA

Dahulu, ketika saya hidup dan sekolah di salah satu pesantren di Pati, saya setiap hari harus bangun jam 03.00 pagi untuk mengikuti berbagai kegiatan yang didakan oleh pesantren, setelah selesai mengikuti kegiatan saya harus berangkat sekolah jam 06.45 dengan mengikuti ketepatan waktu yang sangat ketat, di sekolah saya akan mendapatkan beberapa pelajaran yang lain dari biasanya, satu jam yang berlaku dalam jam kelas hanya 40 menit, maklum saja disekolah saya mempunyai seabrek mata pelajaran yang harus diberikan dalam satu minggu, pada tahun pertama di MA (setara dengan SMA sederajat) saya harus mencicipi 33 pelajaran yang berbeda dan itu hanya diberikan dalam rentan waktu dari jam 06.45 pagi - 12.00 siang setiap harinya, betapa mengerikannya kehidupan dan pendidikan di pesantren yang saya rasakan pada saat itu, karena jam belajar saya tidak hanya berhenti disitu saja tetapi kemudian, ketika saya pulang dari sekolah saya harus mengikuti pengajian kitab yang wajib di ikuti oleh setiap santri dan setelah selesai akan berlanjut pada belajar wajib yang menuntut semua santri untuk diam dan menyimak bukunya masing-masing, tanpa suara, tanpa diskusi, dan tanpa pergi ke kamar mandi, serta satu hal yang tak dapat saya terima, yaitu tanpa protes.

Dari fenomena diatas tentunya pembaca dapat membandingkan betapa jauhnya perbedaan sistem pendidikan yang direalisasikan di pesatren dengan apa yang telah pembaca dapatkan dalam pendidikan masing-masing. Namun, dari perbedaan yang pastinya sudah terlihat pastinya terdapat beberapa kesamaan-kesamaan yang tidak tertulis dalam cerita diatas, baik dari sistem pendidikan ataupun metode pengajaran yang diberikan oleh masing-masing sekolah.

Sekolah, yang selama ini kita ketahui sebagai lembaga pendidikan formal yang menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang dalam dunia sosial ternyata tidak selamanya memberikan suatu hal yang dapat menjadikan siswa untuk berkembang dan mandiri dalam menghadapi kehidupannya, terlebih dalam mencetak siswa-siswa yang mempunyai pemikiran kritis terhadap suatu fenomena. Hal ini bukan disebabkan karena salahnya subjek pembelajaran, tetapi lebih kepada kesalahan dalam metode pembelajaran yang dipraktikkan oleh pengajar kepada para siswanya. Telah menjadi rahasia umum ketika siswa yang searusnya dijadikan sebagai partner dalam proses pendidikan sebaliknya malah dijadikan sebagai individu yang dianggap tak tahu apa-apa, dimana guru hanya menjadikan siswa sebagai objek untuk memperhatikan dan menghormatinya ketika guru sedang menerangkan di depan bukan sama-sama meleburkan diri untuk menjadi subjek yang saling melengkapi dan pro aktif dalam pembelajaran. Siswa hanya diberikan sedikit waktu untuk bertanya dan mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, itupun didapatkan siswa ketika mereka telah mendapatkan perasaan jenuh terhadap suatu pembelajaran tertentu sehingga hal itu pun akan mempengaruhi siswa untuk berkontribusi dalam sedikit waktu yang diberikan oleh guru untuk bertanya tersebut.

Inilah yang kemudian menurut Paulo Freire dikatakan sebagai pembelajaran model bank, dimana individu dalam posisinya sebagai siswa ditempatkan sebagai barang mati tanpa pilihan kecuali menerima atau menjadi wadah dari sosialisasi teori iptek dan nilai yang diberikan dan ditumpahkan guru kepadanya, guru ditampilkan sebagai suatu prototipe manusia ideal yang sudah diletakkan sekolah seperti konsepsi sang penguasa dan seorang siswa harus meniru.  Dari sinilah kemudian timbul istilah pedagogi pendidikan dimana guru adalah pusat semua pengetahuan dan itu artinya secara tidak langsung telah menganggap bahwasanya siswa tidak mempunyai hak apapun untuk berkontribusi dalam pembelajaran kecuali hanya untuk menjadi pendengar dan penadah. Namun, meskipun menuai banyak protes dari berbagai kalangan yang kritis terhadap pendidikan model pembelajaran ini sampai sekarang kelihatannya masih menjadi metode pilihan di berbagai lembaga pendidikan.

Lembaga pendidikan seharusnya memberikan kelas yang menarik, yakni kelas yang dicontohkan oleh Ki Hajar Diwantoro dengan memposisikan guru bukan sebagai seseorang yang menggurui, tetapi memberikan kebebasan terhadap siswa untuk memilih apa yang ingin mereka pelajari tanpa adanya pengekangan dari pihak manapun dan guru hanya menempatkan diri sebagai fasilitator.

Pemerintah sebagai lembaga yang menjadi pusat monitor pendidikan tentunya tidak hanya berpangku tangan terhadap kenyataan yang terjadi dalam dunia pendidikan diatas, terbukti dengan di instruksikannya kewajiban untuk melengkapi administrasi bagi setiap guru yang telah mendapatkan sertifikasi. Kelengkapan administrasi tersebut meliputi berbagai macam laporan yang intinya adalah memuat proses dan metodologi pendidikan yang diberikan oleh seorang guru ketika mengajar, dimana guru dituntut untuk memberikan metode pembelajaran yang menarik dan melibatkan kontribusi aktif para siswanya, namun dalam realisasinya upaya pemerintah untuk menaikkan mutu pendidikan melaluisertifikasi tersebut tidak disambut dengan baik oleh beberapa –oknum- guru di berbagai sekolah, kelengkapan administrasi tersebut hanya dijadikan sebagai alat untuk mencairkan dana sertifikasi, dan tentunya dapat dipastikan bahwasanya kelengkapan administras tersebut hanya dibuat menjelang diadakannya monitoring dari pihak pemerintah, sudah barang jadi apabila apa yang ada dalam laporan tersebut hanya sebatas teks dan pembodohan tanpa ada realisasi yang dilakukan pada siswanya. 

Pemerintah realisasinya dalam berkontribusi di bidang pendidikan selain melakukan monitoring terhadap guru-guru yang telah mendapatkan sertifikasi dengan sistem laporan administratif juga berkontribusi melalui penggelontoran dana yang khusus diberikan untuk  pengembangan masalah pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan formal melalui sekolah. Pemerintah, dalam hal ini adalah kementrian pendidikan telah mengalokasikan dana APBD sebesar 20% hanya untuk pembenahan dalam bidang pendidikan yang alokasinya telah diberikan secara merata –katanya- kepada masing-masing lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta, dengan prosentase masing-masing 50%. Dari kenyataan ini, sudah dilihat ketimpangannya dimana baik negeri maupun swasta mendapatkan prosentase yang sama dalam pembagian 20% dana APBD ini, padahal perbandingan jumlah sekolah swasta dan sekolah negeri sangatlah jauh yaitu 1:10, bahkan ketika menilik pada konteks perguruan tinggi perbandingan ini lebih tinggi lagi yakni lebih dari 1:50, sehingga ketika dana APBD ini dibagikan secara merata pada masing lembaga pendidikan akan sangat timpang dan yang terjadi kemudian tidak dapat disalahkan apabila sekolah swasta akan menaikkan harga jualnya meski dengan kualitas yang seadanya, padahal jika ditilik dari konteks dan kemampuan masyarakat yang notabene nya adalah masyarakat menengah kebawah, masyarakat tidak akan dapat menjangkau sekolah ini khususnya masyarakat pedesaan dengan kenyataan di wilayah pedesaan sangat minim sekolah negeri, akhirnya masyarakat miskin hanya mendapatkan sekolah swasta dengan kualitas seadanya tapi biaya yang tidak apa adanya.

Kemudian, lebih lanjut lagi ditemukan bahwasanya 20% dana APBD yang telah terbagi masing-masing 50% untuk sekolah swasta dan sekolah negeri, ternyata sebagian tidak meneyentuh pada pendidikan yang sifatnya agama dalam hal ini adalah sekolah berbasis pesantren, karena dipandang bahwasanya madrasah (basis pesantren) hanya memberikan pendidikan yang bersifat centralistik, yakni hanya mengajarkan sejauh pendidikan agama yang inti ajarannya sama. Dari sini, dapat dilihat bahwa pemerintah hanya mengakomodir pendidikan yang bersifat desentralis yang menekankan pada keragaman daerah di Indonesia. Kenyataannya hanya sebagian kecil pendidikan madrasah yang mampu mencicipi dana APBD ini, yaitu hanya untuk wilayah yang mempunyai basis agama kuat dan memang mendominasi, sehingga membuat kepala daerah berani menggelontorkan dana tersebut kepada pendidikan madrasah, ini disebabkan karena indonesia terdiri dari beragam agama yang tidak dapat didiskriminasikan satu sama lain. Dana bantuan yang diberikan kepada sekolah berbasis pesantren hanya berupa Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tentunya bantuan ini tidak seberapa apabila dibandingkan dengan APBD yang diberikan kepada lembaga pendidikan lain, yang sebenarnya juga mendapatkan kucuran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) juga.  

Kesangsian lain mengenai kredibilitas penguasa –pemerintah- ketika mengurusi lembaga pendidikan adalah kenyataan bahwasanya penguasa dengan berbagai pemikiran dan kebijakan berbeda seringkali membuat sebagian besar penggiat pendidikan menjadi kebingungan, dengan kebijakan kurikulum yang setiap saat berubah seiring dengan berubahnya regulasi penguasa, tanpa diketahui keberhasilan apa yang telah diperoleh pada kurikulum sebelumnya. Terlebih pemerintah yang menginginkan pendidikan yang bersifat desentralis bertolak pada keragaman daerah ironisnya tidak melibatkan seluruh elemen masyarakat atau otoritas yang setidaknya dekat dengan masyarakat, dimana otoritas ini mempunyai pengalaman dan pengetahuan tersendiri dan tentunya lebih tahu mengenai keragaman daerahnya sendiri. 

Perlu disadari bahwasanya kenyataan yang membuat timpangnya pendidikan di Indonesia tidak hanya terjadi dalam wilayah pemerintah dan kinerja pendidik saja, tetapi juga merambah pada masyarakat luas yang menganggap bahwasanya pendidikan formal –sekolah- hanya untuk syarat pemenuhan administrasi melamar kerja saja, sehingga ketika anggapan tersebut berlanjut pula pada pikiran anak-anak calon siswa hal ini juga akan berdampak pada kinerja siswa ini dalam kelasnya, dan yang terjadi kemudian lulusan dari produk-produk pendidikan ini nantinya tidak akan menjadi produk yang diharapkan bahkan tanpa kualitas apapun, selain hanya kualitas pekerja dan kuli saja. Lebih parah lagi ketika setelah itu masyakat menganggap bahwasanya pendidikan –sekolah- adalah tidak penting dan berkata “buat apa sekolah, toh sekolah aja lulusanya gitu-gitu aja kok kerjanya” yang dikarenakan terlihatnya produk pendidikan yang gagal di hadapan mereka. Sehingga, persepsi mengenai sekolah hanya untuk kerja harus di hapus dari diri seorang siswa yang akan menempuh pendidikan dan menggali instrumen-instrumen penting yang seharusnya dimiliki oleh siswa tersebut, yakni belajar untuk pelajarannya, bukan belajar untuk kerja.

Dunia ini benar-benar dipengaruhi dan terdiri dari kuantitas-kuantitas.  Sehingga seberapapun besar kesuksesan dan kepintaran seseorang tak akan berarti tanpa adanya laporan yang bersifat kuantitatif, ini yang menyebabkan individu akhirnya mencoba mengkuantitatifkan pengetahuan dan kepintarannya dalam angka didalam ijazah, walaupun kredibilitas seseorang tidak seberapa tetapi ketika angka menyebutkan bahwasanya ia termasuk kedalam rating tinggi maka ia akan dikatakan mampu dan kredibel. Pendidikan yang selama ini diartikan sebagai pembelajaran sepanjang rentan kehidupan yang tidak hanya bisa didapatkan dikelas, menjadi sedikit bergeser dengan kenyataan kuatifikasi ini, tanpa adanya kuantifikasi dalam bidang pendidikan sebenarnya individu dapat menjadi lebih berkembang dibanding ketika individu hanya terpaku pada suatu hal yang bersifat eksternal, dari beberapa pembagian pendidikan yang penulis singgung diatas tidak sepatutnya apabila pendidikan 9 tahun yang dicanangkan oleh pemerintah diartikan hanya sebatas pendidikan yang bersifat formal didalam kelas saja, tetapi lebih dari itu, pendidikan harusnya diartikan sebagai long life education yang dapat di peroleh dimana saja tidak hanya disekolah.

Fenomena diatas yang dipandang penulis sebagai persamaan dan perbedaan dari masing-masing lembaga pendidikan kemungkinan tidak terjadi di suatu lembaga tertentu, sehingga tidak berarti apa yang diuraikan penulis diatas dapat digeneralisasi kedalam semua lembaga pendidikan formal yang ada di Indonesia, namun menurut penulis hal ini dapat dijadikan sebagai representasi miniatur pendidikan yang telah berjalan di Indonesia. Inilah kemudian yang seharusnya menjadi pekerjaan rumah seluruh penggiat pendidikan untuk menjadikan pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik, sehingga fenomena bahu-membahu upper up and buttom down demi perbaikan antara penguasa dan masyarakat dapat tercipta.  

Rabu, (03/4/13), 22:35, Sekretariat PMII UII

No comments:

Post a Comment