Wednesday, January 29, 2014

Fenomena Bullying di Indonesia



Saat-saat sekolah baik itu SD, SMP maupun SMA menjadi suatu hal yang sangat sulit untuk dilupakan. Berbagai peristiwa baik menyenangkan maupun tidak akan selalu terpatri dengan indah dalam kenangan yang takkan terulang. Banyak kelakuan kita semasa keci, remaja, maupun bernajak dewasa yang alami adanya untuk membawa kita menjadi jati diri yang sesungguhnya. Namun begitu, tidak sedikit yang melewatkan masa sekolahnya dengan berbagai kenangan buruk yang apabila diingat sulit untuk mau kembali ke masa itu.
Saat masa orientasi siswa salah satu hal yang paling ditakuti oleh rata-rata calon siswa/pelajar di suatu sekolah. Maupun yang bisa dikenal OSPEK di kalangan mahasiswa perguruan tinggi. Tak jarang banyak siswa baru yang di bully atau diejek maupun dikerjai habis-habisan oleh sesama teman maupn kakak kelas. Kejadian semacam ini yaitu dibully mungkin bisa dibilang sudah biasa ya, baik di Indonesia maupun di berbagai negara. Karena ini merupakan semacam sifat manusia sebagai makhluk sosial yang ingin keberadaannya diakui atau juga sifat manusia sebagai yang ingin menguasai. Tak terkecuali kepada para remaja sekolah yang memang sedang matang-matangnya dan sedang aktif-aktifnya mencari jati diri, ya seperti ini loh gua atau lu ga boleh nganggep remeh gua.

Pengertian Bully/Bullying

Istilah bullying ini terkait dengan bull, sapi jantan yang suka mendengus (untuk mengancam, menakuti-nakuti, atau memberi tanda). Kamus Marriem Webster menjelaskan bahwa bully itu adalah to treat abusively (memperlakukan secara tidak  sopan) atau to affect by means of force or coercion (mempengaruhi dengan paksaan dan kekuatan).
Dalam dunia anak-anak, Dan Olweus, seorang pakar yang berkonsentrasi menangani praktek bullying, menyimpulkan, bullying pada anak-anak itu mencakup penjelasan antara lain: a) upaya melancarkan permusuhan atau penyerangan terhadap korban, b) korban adalah pihak yang dianggap lemah atau tak berdaya oleh pelaku, dan c) menimbulkan efek buruk bagi fisik atau jiwanya (Preventing Bullying, Kidscape, UK, 2001).
Bu Ria (36), sebut saja begitu, akhirnya lebih memilih memindahkan anaknya ke sekolah lain. Ini dilakukan karena kasihan selalu mendengar keluhan si putri yang kerap dijadikan objek pemalakan oleh sekelompok anak di sekolah. Misalnya, makanan yang dibawanya dari rumah suka diambil, peralatan sekolah suka diganti sama yang jelek, atau bahkan uang jajannya pun tak luput dari praktek pemerasan. Menurut si putri, dirinya diam saja sebab ada anak lain yang menolak kemauan si pembully diancam dengan kata-kata yang menakutkan. Misalnya, tidak ditemani, selalu dicemooh sebagai orang pelit, dan semisalnya.
Menurut pengamatan Dan Olweus, dkk, bullying di kalangan anak-anak itu memiliki bentuk yang beragam, antara lain:

Penyerangan fisik: memukul, menendang, mendorong, dan seterusnya
Penyerangan verbal: mengejek, menyebarkan isu buruk, atau menjuluki sebutan yang jelek
Penyerangan emosi: menyembunyikan peralatan sekolah, memberikan ancaman, menghina
Penyerangan rasial: mengucilkan anak karena ras, agama, kelompok, dst
Penyerangan seksual: meraba, mencium, dan seterusnya

Dalam dunia anak-anak, bullying biasanya terjadi karena adanya kerjasama yang bagus dari ketiga pihak, yang oleh Barbara Coloroso ((The Bully, The Bullied, dan The Bystander: 2004), disebutnya dengan istilah tiga mata rantai penindasan. Pertama, bullying terjadi karena ada pihak yang  menindas. Kedua, ada penonton yang diam atau mendukung, entah karena takut atau karena merasa satu kelompok. Ketiga, ada pihak yang dianggap lemah dan menganggap dirinya sebagai pihak yang lemah (takut bilang sama guru atau orangtua, takut melawan, atau malah memberi permakluman).
Kemudian Pak Wardiman. Pak Wardiman setengah menyesali keputusannya "menyogok" pihak sekolah agar menerima si anak yang usianya kala itu belum cukup enam tahun. Dipikirnya, dengan masuk SD lebih dini itu bagus. Dia khawatir anaknya nanti menjadi orang bodoh karena kerjaannya main terus di rumah. Seiring dengan berjalannya waktu, terasa ada yang ganjil dari perkembangan si anak. Di sekolah yang pengawasan gurunya sangat terbatas, si anak kerap dijadikan korban yang harus mengalah oleh teman yang badanya lebih gede dan usianya lebih tua.
Apa yang dialami Pak Wardiman itu sebetulnya hanya sebuah kasus. Maksudnya, tidak semua anak yang usianya lebih muda itu akan pasti menjadi korban bullying. Faktor usia bisa menjadi sebab langsung dan bisa pula menjadi sebab tidak langsung atau bisa saja tidak terkait sama sekali. Usia tidak selalu menjadi sebab. Mungkin lingkungan sekolah, mungkin pengaruh pola asuh, atau mungkin karena yang lain.
Atas kerjasama ketiga pihak itu biasanya praktek bullying sangat sukses dilakukan oleh anak yang merasa punya punya power atau kekuatan. Jika kebetulan anak kita masuk di sekolah yang pengawasan gurunya lebih dari cukup, mungkin akan cepat terdeteksi. Tapi bila tidak, maka kitalah yang sangat diharapkan proaktif (http://www.e-psikologi.com)
Dalam banyak kasus di Indonesia bully sering ditemukan dalam bentuk kontak fisik. Memukul, menendang, merupakan hal yang sangat sering terjadi. Bukan hanya kaum laki-laki namun juga banyak terjadi di kaum wanita. Masalahnya semua bisa dibilang sepele. Seperti tidak mau ikut geng, masalah percintaan, iri karena berbagai hal dan hal-hal kecil lainnya yang memang menjadi tameng besar karena rata-rata remaja tingkat emosinya lebih tinggi dan lebih sensitif. Apalagi mereka yang mem-bully tergabung dalam sebuah geng atau tim, ini menimbulkan kepercaya dirian yang tinggi. Kasus di banyak sekolah seperti yang kita ketahui di STPDN, serta kasus bully di SMA 70 yang disebabkan karena salah satu siswanya tidak memakai kaos dalam serta kasus bully di SMA 82 yang menyebabkan siswanya masuk rumah sakit menjalani perawatan karena memar di bagian badan belakang dan enam jahitan disekitar mulutnya, hal ini terjaid karena si korban memasuki daerah terlarang/khusus senior kelas 3. Miris.
Bullying bukan hanya bisa dalam bentuk fisik, seperti melabrak, memukul, menendang ataupun kekerasan lainnya kepada si korban bully dari sang bully-er. Tapi juga dalam bentuk verbal atau lisan, emosi, rasial, seksual dan berbagai sikap yang sangat mencerminkan ketidaksukaan kita terhadap seseorang. Seperti contohnya seorang anak miskin dijauhi oleh teman-temannya karena derajatnya atau materinya tidak sebanding dengan yang lainnya. Memang dia tidak mendapat kontak fisik yang menyakitkan. Tapi, sikap teman yang acuh tak acuh, sikap menjauhi, sikap mencemooh, dan sering mengejek dengan kata-kata yang menyakitkan merupakan kategori bully. Malah ini sangat menyakitkan, karena bisa dalam jangka waktu yang lama dan mempengaruhi psikologi si anak. Berbagai tindak bullying sangat merugikan baik pada si korban maupun pembully.
Apalagi si korban bully memang menjadi sasaran yang tidak mampu melawan, merasa tersudut,merasa sendiri dan tidak bisa melakukan apa-apa, takut, dan tidak bisa mempertahankan dirinya dari bullying.

Efek buruk bagi si korban dan si pembully

Hal semacam ini menimbulkan berbagai kerugian tentunya bukan hanya bagi si korban namu n juga pembully. Si korban mendapat efek buruk seperti tidak percaya diri, selalu dirundung ketakutan, menjadi pribadi yang tertutup, perkembangan diri menjadi terhambat, tersingkir dari pergaulan, pemerosotan prestasi dibidang akademik dan efek panjang lainnya yang membuat perubahan seseorang menjadi tidak aktif dan seaka-akan tak ada semangat untuk hidup. Namun si pembully juga tak luput dari hal yang buruk misalnya selalu merasa dirinya berkuasa sehingga akan buruk bila suatu saat dia tidak bisa menerima kekalaha, dirundung rasa ketakutan karena perbuatannya tergolong kriminal, tekanan dari berbagai pihak, menjadi pribadi yang tidak baik seperti egois, emosional, merasa paling berkuasa, dan sifat buruk lainnya,  menjadi agresif, tidak bisa mengakui kemenangan atau keunggulan orang lain, dan lainnya.
Tak menutupi kemungkinan si korban bully bisa menjadi si pembully karena kenangan di masa lalu, atau tidak terima atas perbuatan teman-teman yang mpernah membully-nya timbul rasa dendam dan ingin berbuat yang sama ketika posisinya mungkin di saat yang strategis untuk menjadi pembully seperti menjadi kakak kelas, ketua geng, atau yang disegani di lingkungannya. Ini merupakan hal yang menjadi suatu titik merah apabila tidak ditangani lebih lanjut.

Penanganan untuk korban bully dan si bully-er

Banyak korban bully yang tidak mampu atau merasa takut untuk memberi tahu kalau dirinya sering dibully atau menjadi objek bullying. Yang akibatnya tentu saja fatal. Bisa berakibat perubahan sifat dan perilkau, dan malah hilangnya nyawa karean terlalu sering mendapat kekerasan dari sang pembully.
Dari kajian para ahli, jika korban bullying itu dibiarkan atau tidak mendapatkan penanganan, mereka akan depresi, mengalami penurunan harga diri, menjadi pemalu, penakut, prestasinya jeblok, mengisolasi diri, atau ada yang mau mencoba bunuh diri karena tidak tahan (Stop Bullying, Kidscape: 2005). Untuk membantu si korban, Coloroso menyarankan:
Yakinkan  bahwa kita akan berada di sisinya dalam mengatasi masalah ini.
Ajari si anak untuk menjadi orang baik namun juga tidak takut melawan kesombongan.
Galilah inisiatif dari si anak tentang cara-cara yang bisa ditempuh. Ini untuk menumbuhkan kepercayaan diri si anak atau ajukan beberapa usulan.
Rancanglah pertemuan dengan pihak sekolah.
Jangan lupa membawa penjelasan yang faktual dan detail. Misalnya bukti fisik, harinya, prosesnya, nama anak-anaknya, tempat kejadiannya, dan lain-lain. Kalau bisa, cari juga dukungan dari wali murid lain yang anaknya kerap menjadi korban.
Usahakan dalam pertemuan itu muncul kesepakatan yang pasti akan dijalankan dan akan membuat anak aman dari penindasan. Maksudnya, jangan hanya puas mengadu dan puas diberi janji.
Akan lebih sempurna jika pihak sekolah mau memfasilitasi pertemuan dengan wali yang anaknya pelaku dan yang anaknya menjadi korban untuk ditemukan solusinya

Atau bisa dengan cara :

Bekali anak dengan kemampuan untuk membela dirinya sendiri, terutama ketika tidak ada orang dewasa / guru / orang tua yang berada di dekatnya. Ini berguna untuk pertahanan diri anak dalam segala situasi mengancam atau berbahaya, tidak saja dalam kasus bullying. Pertahanan diri ini dapat berbentuk fisik dan psikis.
Pertahanan diri Fisik : bela diri, berenang, kemampuan motorik yang baik (bersepeda, berlari), kesehatan yang prima.
Pertahanan diri Psikis : rasa percaya diri, berani, berakal sehat, kemampuan analisa sederhana, kemampuan melihat situasi (sederhana), kemampuan menyelesaikan masalah.
Bekali anak dengan kemampuan menghadapi beragam situasi tidak menyenangkan yang mungkin ia alami dalam kehidupannya. Untuk itu, selain kemampuan mempertahankan diri secara psikis seperti yang dijelaskan di no. 1a. Maka yang diperlukan adalah kemampuan anak untuk bertoleransi terhadap beragam kejadian. Sesekali membiarkan (namun tetap mendampingi) anak merasakan kekecewaan, akan melatih toleransi dirinya.
Walau anak sudah diajarkan untuk mempertahankan diri dan dibekali kemampuan agar tidak menjadi korban tindak kekerasan, tetap beritahukan anak kemana ia dapat melaporkan atau meminta pertolongan atas tindakan kekerasan yang ia alami (bukan saja bullying). Terutama tindakan yang tidak dapat ia tangani atau tindakan yang terus berlangsung walau sudah diupayakan untuk tidak terulang.
Upayakan anak mempunyai kemampuan sosialisasi yang baik dengan sebaya atau dengan orang yang lebih tua. Dengan banyak berteman, diharapkan anak tidak terpilih menjadi korban bullying karena :
Kemungkinan ia sendiri berteman dengan pelaku, tanpa sadar bahwa temannya pelaku bullying pada teman lainnya.
Kemungkinan pelaku enggan memilih anak sebagai korban karena si anak memiliki banyak teman yang mungkin sekali akan membela si anak.
Sosialisasi yang baik dengan orang yang lebih tua, guru atau pengasuh atau lainnya, akan memudahkan anak ketika ia mengadukan tindakan kekerasan yang ia alami (http://bundazone.com)
Yang perlu kita hindari adalah praktek menyalahkan atau menyudutkan si anak. Misalnya mengatakan, kamu sih yang mancing, kamu sih yang nggak mau mengerti, dan seterusnya. Kesalahan ada pada pelaku, bukan pada korban. Hindari juga membuat rasionalisasi yang meremehkan, misalnya kita mengatakan, wah digituin aja sedih, jangan cengeng dong, dia kan hanya bercanda, dan seterusnya. Terus, jangan juga langsung meledak dan ngamuk. Ini malah membuat anak enggan bercerita. Biar bagaimanapu orang tua sebagai penentu bagaimana anak dapat bersikap terus terang atau tidak.
Untuk si bullying juga perlu mendapat pembinaan, karena tak jarang mereka merasa tersudut dan perlu perhatian. Pada dasarnya tak ada manusia yang tidak bisa diubah atau berubah. Bisa dilakukan pencegahan dan cara untuk merubah perilaku, bisa diajarkan dengan cara-cara di bawah ini :
Segera ajak anak bicara mengenai apa yang ia lakukan. Jelaskan bahwa tindakannya merugikan diri dan orang lain. Upayakan bantuan dari tenaga ahlinya agar masalah tertangani dengan baik dan selesai dengan tuntas.
Cari penyebab anak melakukan hal tersebut. Penyebab menjadi penentu penanganan. Anak yang menjadi pelaku karena rasa rendah diri tentu akan ditangani secara berbeda dengan pelaku yang disebabkan oleh dendam karena pernah menjadi korban.Demikian juga bila pelaku disebabkan oleh agresifitasnya yang berbeda.
Posisikan diri untuk menolong anak dan bukan menghakimi anak.
Beri disiplin. Jelaskan bahwa menindas itu perbuatan salah, ajari untuk bertanggungjawab atas kesalahannya, misalnya minta maaf, mengontrol proses agar tidak mengulangi lagi, dan meyakinkan dirinya bahwa dia bukan orang jahat. Dia hanya butuh belajar untuk menjadi orang yang lebih baik.
Ciptakan kesempatan untuk berbuat baik kepada keluarga atau teman-temannya di sekolah, misalnya mengundang hari ulang tahun, berbagi, dan seterusnya
Tumbuhkan empati, misalnya menjenguk atau menelpon yang sakit, membantu yang membutuhkan, mengutarakan kata-kata yang baik
Ajari keterampilan berteman dengan cara-cara yang asertif, sopan, dan tenang. Tunjukkan bahwa memaksa orang lain itu tidak baik.
Pantaulah acara televisi yang ditonton mereka, video game yang dimainkan, aktivitas-aktivitas komputer yang mereka lakukan, dan musik yang mereka dengarkan atau mainkan. Jika berbau kekerasan, ajarilah untuk mengganti secara bertahap
Libatkan dalam kegiatan-kegiatan yang lebih konstruktif, menghibur, dan menggairahkan.
Ajari anak Anda untuk beritikad baik kepada anak lain.
Hindari kekerasan dalam bentuk apapun ketika memperlakukan mereka. Kekerasan seringkali melahirkan kekerasan.

Sumber : http://edudemic.com

No comments:

Post a Comment