Saat-saat sekolah baik itu SD, SMP maupun SMA menjadi suatu
hal yang sangat sulit untuk dilupakan. Berbagai peristiwa baik menyenangkan
maupun tidak akan selalu terpatri dengan indah dalam kenangan yang takkan
terulang. Banyak kelakuan kita semasa keci, remaja, maupun bernajak dewasa yang
alami adanya untuk membawa kita menjadi jati diri yang sesungguhnya. Namun
begitu, tidak sedikit yang melewatkan masa sekolahnya dengan berbagai kenangan
buruk yang apabila diingat sulit untuk mau kembali ke masa itu.
Saat masa orientasi siswa salah satu hal yang paling
ditakuti oleh rata-rata calon siswa/pelajar di suatu sekolah. Maupun yang bisa
dikenal OSPEK di kalangan mahasiswa perguruan tinggi. Tak jarang banyak siswa
baru yang di bully atau diejek maupun dikerjai habis-habisan oleh sesama teman
maupn kakak kelas. Kejadian semacam ini yaitu dibully mungkin bisa dibilang
sudah biasa ya, baik di Indonesia maupun di berbagai negara. Karena ini
merupakan semacam sifat manusia sebagai makhluk sosial yang ingin keberadaannya
diakui atau juga sifat manusia sebagai yang ingin menguasai. Tak terkecuali
kepada para remaja sekolah yang memang sedang matang-matangnya dan sedang
aktif-aktifnya mencari jati diri, ya seperti ini loh gua atau lu ga boleh
nganggep remeh gua.
Pengertian Bully/Bullying
Istilah bullying ini terkait dengan bull, sapi jantan yang
suka mendengus (untuk mengancam, menakuti-nakuti, atau memberi tanda). Kamus
Marriem Webster menjelaskan bahwa bully itu adalah to treat abusively
(memperlakukan secara tidak sopan) atau
to affect by means of force or coercion (mempengaruhi dengan paksaan dan
kekuatan).
Dalam dunia anak-anak, Dan Olweus, seorang pakar yang
berkonsentrasi menangani praktek bullying, menyimpulkan, bullying pada
anak-anak itu mencakup penjelasan antara lain: a) upaya melancarkan permusuhan
atau penyerangan terhadap korban, b) korban adalah pihak yang dianggap lemah
atau tak berdaya oleh pelaku, dan c) menimbulkan efek buruk bagi fisik atau
jiwanya (Preventing Bullying, Kidscape, UK, 2001).
Bu Ria (36), sebut saja begitu, akhirnya lebih memilih
memindahkan anaknya ke sekolah lain. Ini dilakukan karena kasihan selalu
mendengar keluhan si putri yang kerap dijadikan objek pemalakan oleh sekelompok
anak di sekolah. Misalnya, makanan yang dibawanya dari rumah suka diambil,
peralatan sekolah suka diganti sama yang jelek, atau bahkan uang jajannya pun
tak luput dari praktek pemerasan. Menurut si putri, dirinya diam saja sebab ada
anak lain yang menolak kemauan si pembully diancam dengan kata-kata yang menakutkan.
Misalnya, tidak ditemani, selalu dicemooh sebagai orang pelit, dan semisalnya.
Menurut pengamatan Dan Olweus, dkk, bullying di kalangan
anak-anak itu memiliki bentuk yang beragam, antara lain:
Penyerangan fisik: memukul, menendang, mendorong, dan
seterusnya
Penyerangan verbal: mengejek, menyebarkan isu buruk, atau
menjuluki sebutan yang jelek
Penyerangan emosi: menyembunyikan peralatan sekolah,
memberikan ancaman, menghina
Penyerangan rasial: mengucilkan anak karena ras, agama,
kelompok, dst
Penyerangan seksual: meraba, mencium, dan seterusnya
Dalam dunia anak-anak, bullying biasanya terjadi karena
adanya kerjasama yang bagus dari ketiga pihak, yang oleh Barbara Coloroso ((The
Bully, The Bullied, dan The Bystander: 2004), disebutnya dengan istilah tiga
mata rantai penindasan. Pertama, bullying terjadi karena ada pihak yang menindas. Kedua, ada penonton yang diam atau
mendukung, entah karena takut atau karena merasa satu kelompok. Ketiga, ada
pihak yang dianggap lemah dan menganggap dirinya sebagai pihak yang lemah
(takut bilang sama guru atau orangtua, takut melawan, atau malah memberi
permakluman).
Kemudian Pak Wardiman. Pak Wardiman setengah menyesali
keputusannya "menyogok" pihak sekolah agar menerima si anak yang
usianya kala itu belum cukup enam tahun. Dipikirnya, dengan masuk SD lebih dini
itu bagus. Dia khawatir anaknya nanti menjadi orang bodoh karena kerjaannya
main terus di rumah. Seiring dengan berjalannya waktu, terasa ada yang ganjil
dari perkembangan si anak. Di sekolah yang pengawasan gurunya sangat terbatas,
si anak kerap dijadikan korban yang harus mengalah oleh teman yang badanya
lebih gede dan usianya lebih tua.
Apa yang dialami Pak Wardiman itu sebetulnya hanya sebuah
kasus. Maksudnya, tidak semua anak yang usianya lebih muda itu akan pasti
menjadi korban bullying. Faktor usia bisa menjadi sebab langsung dan bisa pula
menjadi sebab tidak langsung atau bisa saja tidak terkait sama sekali. Usia
tidak selalu menjadi sebab. Mungkin lingkungan sekolah, mungkin pengaruh pola
asuh, atau mungkin karena yang lain.
Atas kerjasama ketiga pihak itu biasanya praktek bullying
sangat sukses dilakukan oleh anak yang merasa punya punya power atau kekuatan.
Jika kebetulan anak kita masuk di sekolah yang pengawasan gurunya lebih dari
cukup, mungkin akan cepat terdeteksi. Tapi bila tidak, maka kitalah yang sangat
diharapkan proaktif (http://www.e-psikologi.com)
Dalam banyak kasus di Indonesia bully sering ditemukan dalam
bentuk kontak fisik. Memukul, menendang, merupakan hal yang sangat sering
terjadi. Bukan hanya kaum laki-laki namun juga banyak terjadi di kaum wanita.
Masalahnya semua bisa dibilang sepele. Seperti tidak mau ikut geng, masalah
percintaan, iri karena berbagai hal dan hal-hal kecil lainnya yang memang
menjadi tameng besar karena rata-rata remaja tingkat emosinya lebih tinggi dan
lebih sensitif. Apalagi mereka yang mem-bully tergabung dalam sebuah geng atau
tim, ini menimbulkan kepercaya dirian yang tinggi. Kasus di banyak sekolah
seperti yang kita ketahui di STPDN, serta kasus bully di SMA 70 yang disebabkan
karena salah satu siswanya tidak memakai kaos dalam serta kasus bully di SMA 82
yang menyebabkan siswanya masuk rumah sakit menjalani perawatan karena memar di
bagian badan belakang dan enam jahitan disekitar mulutnya, hal ini terjaid
karena si korban memasuki daerah terlarang/khusus senior kelas 3. Miris.
Bullying bukan hanya bisa dalam bentuk fisik, seperti
melabrak, memukul, menendang ataupun kekerasan lainnya kepada si korban bully
dari sang bully-er. Tapi juga dalam bentuk verbal atau lisan, emosi, rasial,
seksual dan berbagai sikap yang sangat mencerminkan ketidaksukaan kita terhadap
seseorang. Seperti contohnya seorang anak miskin dijauhi oleh teman-temannya
karena derajatnya atau materinya tidak sebanding dengan yang lainnya. Memang
dia tidak mendapat kontak fisik yang menyakitkan. Tapi, sikap teman yang acuh
tak acuh, sikap menjauhi, sikap mencemooh, dan sering mengejek dengan kata-kata
yang menyakitkan merupakan kategori bully. Malah ini sangat menyakitkan, karena
bisa dalam jangka waktu yang lama dan mempengaruhi psikologi si anak. Berbagai
tindak bullying sangat merugikan baik pada si korban maupun pembully.
Apalagi si korban bully memang menjadi sasaran yang tidak
mampu melawan, merasa tersudut,merasa sendiri dan tidak bisa melakukan apa-apa,
takut, dan tidak bisa mempertahankan dirinya dari bullying.
Efek buruk bagi si korban dan si pembully
Hal semacam ini menimbulkan berbagai kerugian tentunya bukan
hanya bagi si korban namu n juga pembully. Si korban mendapat efek buruk
seperti tidak percaya diri, selalu dirundung ketakutan, menjadi pribadi yang
tertutup, perkembangan diri menjadi terhambat, tersingkir dari pergaulan,
pemerosotan prestasi dibidang akademik dan efek panjang lainnya yang membuat
perubahan seseorang menjadi tidak aktif dan seaka-akan tak ada semangat untuk
hidup. Namun si pembully juga tak luput dari hal yang buruk misalnya selalu
merasa dirinya berkuasa sehingga akan buruk bila suatu saat dia tidak bisa
menerima kekalaha, dirundung rasa ketakutan karena perbuatannya tergolong
kriminal, tekanan dari berbagai pihak, menjadi pribadi yang tidak baik seperti
egois, emosional, merasa paling berkuasa, dan sifat buruk lainnya, menjadi agresif, tidak bisa mengakui
kemenangan atau keunggulan orang lain, dan lainnya.
Tak menutupi kemungkinan si korban bully bisa menjadi si
pembully karena kenangan di masa lalu, atau tidak terima atas perbuatan
teman-teman yang mpernah membully-nya timbul rasa dendam dan ingin berbuat yang
sama ketika posisinya mungkin di saat yang strategis untuk menjadi pembully
seperti menjadi kakak kelas, ketua geng, atau yang disegani di lingkungannya.
Ini merupakan hal yang menjadi suatu titik merah apabila tidak ditangani lebih
lanjut.
Penanganan untuk korban bully dan si bully-er
Banyak korban bully yang tidak mampu atau merasa takut untuk
memberi tahu kalau dirinya sering dibully atau menjadi objek bullying. Yang
akibatnya tentu saja fatal. Bisa berakibat perubahan sifat dan perilkau, dan
malah hilangnya nyawa karean terlalu sering mendapat kekerasan dari sang
pembully.
Dari kajian para ahli, jika korban bullying itu dibiarkan
atau tidak mendapatkan penanganan, mereka akan depresi, mengalami penurunan
harga diri, menjadi pemalu, penakut, prestasinya jeblok, mengisolasi diri, atau
ada yang mau mencoba bunuh diri karena tidak tahan (Stop Bullying, Kidscape:
2005). Untuk membantu si korban, Coloroso menyarankan:
Yakinkan bahwa kita
akan berada di sisinya dalam mengatasi masalah ini.
Ajari si anak untuk menjadi orang baik namun juga tidak
takut melawan kesombongan.
Galilah inisiatif dari si anak tentang cara-cara yang bisa
ditempuh. Ini untuk menumbuhkan kepercayaan diri si anak atau ajukan beberapa
usulan.
Rancanglah pertemuan dengan pihak sekolah.
Jangan lupa membawa penjelasan yang faktual dan detail.
Misalnya bukti fisik, harinya, prosesnya, nama anak-anaknya, tempat
kejadiannya, dan lain-lain. Kalau bisa, cari juga dukungan dari wali murid lain
yang anaknya kerap menjadi korban.
Usahakan dalam pertemuan itu muncul kesepakatan yang pasti
akan dijalankan dan akan membuat anak aman dari penindasan. Maksudnya, jangan
hanya puas mengadu dan puas diberi janji.
Akan lebih sempurna jika pihak sekolah mau memfasilitasi
pertemuan dengan wali yang anaknya pelaku dan yang anaknya menjadi korban untuk
ditemukan solusinya
Atau bisa dengan cara :
Bekali anak dengan kemampuan untuk membela dirinya sendiri,
terutama ketika tidak ada orang dewasa / guru / orang tua yang berada di
dekatnya. Ini berguna untuk pertahanan diri anak dalam segala situasi mengancam
atau berbahaya, tidak saja dalam kasus bullying. Pertahanan diri ini dapat
berbentuk fisik dan psikis.
Pertahanan diri Fisik : bela diri, berenang, kemampuan
motorik yang baik (bersepeda, berlari), kesehatan yang prima.
Pertahanan diri Psikis : rasa percaya diri, berani, berakal
sehat, kemampuan analisa sederhana, kemampuan melihat situasi (sederhana),
kemampuan menyelesaikan masalah.
Bekali anak dengan kemampuan menghadapi beragam situasi
tidak menyenangkan yang mungkin ia alami dalam kehidupannya. Untuk itu, selain
kemampuan mempertahankan diri secara psikis seperti yang dijelaskan di no. 1a.
Maka yang diperlukan adalah kemampuan anak untuk bertoleransi terhadap beragam
kejadian. Sesekali membiarkan (namun tetap mendampingi) anak merasakan
kekecewaan, akan melatih toleransi dirinya.
Walau anak sudah diajarkan untuk mempertahankan diri dan
dibekali kemampuan agar tidak menjadi korban tindak kekerasan, tetap
beritahukan anak kemana ia dapat melaporkan atau meminta pertolongan atas
tindakan kekerasan yang ia alami (bukan saja bullying). Terutama tindakan yang
tidak dapat ia tangani atau tindakan yang terus berlangsung walau sudah
diupayakan untuk tidak terulang.
Upayakan anak mempunyai kemampuan sosialisasi yang baik
dengan sebaya atau dengan orang yang lebih tua. Dengan banyak berteman,
diharapkan anak tidak terpilih menjadi korban bullying karena :
Kemungkinan ia sendiri berteman dengan pelaku, tanpa sadar
bahwa temannya pelaku bullying pada teman lainnya.
Kemungkinan pelaku enggan memilih anak sebagai korban karena
si anak memiliki banyak teman yang mungkin sekali akan membela si anak.
Sosialisasi yang baik dengan orang yang lebih tua, guru atau
pengasuh atau lainnya, akan memudahkan anak ketika ia mengadukan tindakan
kekerasan yang ia alami (http://bundazone.com)
Yang perlu kita hindari adalah praktek menyalahkan atau
menyudutkan si anak. Misalnya mengatakan, kamu sih yang mancing, kamu sih yang
nggak mau mengerti, dan seterusnya. Kesalahan ada pada pelaku, bukan pada
korban. Hindari juga membuat rasionalisasi yang meremehkan, misalnya kita
mengatakan, wah digituin aja sedih, jangan cengeng dong, dia kan hanya
bercanda, dan seterusnya. Terus, jangan juga langsung meledak dan ngamuk. Ini
malah membuat anak enggan bercerita. Biar bagaimanapu orang tua sebagai penentu
bagaimana anak dapat bersikap terus terang atau tidak.
Untuk si bullying juga perlu mendapat pembinaan, karena tak
jarang mereka merasa tersudut dan perlu perhatian. Pada dasarnya tak ada
manusia yang tidak bisa diubah atau berubah. Bisa dilakukan pencegahan dan cara
untuk merubah perilaku, bisa diajarkan dengan cara-cara di bawah ini :
Segera ajak anak bicara mengenai apa yang ia lakukan.
Jelaskan bahwa tindakannya merugikan diri dan orang lain. Upayakan bantuan dari
tenaga ahlinya agar masalah tertangani dengan baik dan selesai dengan tuntas.
Cari penyebab anak melakukan hal tersebut. Penyebab menjadi
penentu penanganan. Anak yang menjadi pelaku karena rasa rendah diri tentu akan
ditangani secara berbeda dengan pelaku yang disebabkan oleh dendam karena
pernah menjadi korban.Demikian juga bila pelaku disebabkan oleh agresifitasnya
yang berbeda.
Posisikan diri untuk menolong anak dan bukan menghakimi
anak.
Beri disiplin. Jelaskan bahwa menindas itu perbuatan salah,
ajari untuk bertanggungjawab atas kesalahannya, misalnya minta maaf, mengontrol
proses agar tidak mengulangi lagi, dan meyakinkan dirinya bahwa dia bukan orang
jahat. Dia hanya butuh belajar untuk menjadi orang yang lebih baik.
Ciptakan kesempatan untuk berbuat baik kepada keluarga atau
teman-temannya di sekolah, misalnya mengundang hari ulang tahun, berbagi, dan
seterusnya
Tumbuhkan empati, misalnya menjenguk atau menelpon yang
sakit, membantu yang membutuhkan, mengutarakan kata-kata yang baik
Ajari keterampilan berteman dengan cara-cara yang asertif,
sopan, dan tenang. Tunjukkan bahwa memaksa orang lain itu tidak baik.
Pantaulah acara televisi yang ditonton mereka, video game
yang dimainkan, aktivitas-aktivitas komputer yang mereka lakukan, dan musik
yang mereka dengarkan atau mainkan. Jika berbau kekerasan, ajarilah untuk
mengganti secara bertahap
Libatkan dalam kegiatan-kegiatan yang lebih konstruktif,
menghibur, dan menggairahkan.
Ajari anak Anda untuk beritikad baik kepada anak lain.
Hindari kekerasan dalam bentuk apapun ketika memperlakukan
mereka. Kekerasan seringkali melahirkan kekerasan.
Sumber : http://edudemic.com
No comments:
Post a Comment