Tradisi baru di era demokrasi yang patut diapresiasi adalah menjamurnya lembaga-lembaga survei/polling yang memprediksi situasi politik berdasarkan metode ilmiah. Lembaga-lembaga survei yang awalnya kinerja dan kiprahnya tidak dikenal oleh masyarakat lambat laun menjadi akrab dan sudah menyatu dengan masyarakat karena akurasinya tinggi dalam memprediksi hasil sementara pemilu/pilkada melalui metode hitung cepat yang ilmiah.
HASIL hitung cepat yang tidak jauh berbeda dengan hitung manual versi KPU/D, menjadikan kehadiran lembaga survei dalam pilkada dipercaya dan dirindukan masyarakat karena umumnya masyarakat cepat ingin mengetahui siapa pemenangnya. Lembaga-lembaga survei juga dipercaya sebagai lembaga konsultan yang disewa oleh caleg, parpol, calon kepala daerah, calon presiden atau kelompok-kelompok masyarakat lainnya untuk dimintai jasanya menggarap strategi dan upaya dalam memenangkan suatu kompetisi politik. Kondisi ini tentu sangat menyenangkan bahwa masyarakat sudah modern yang dicirikan dengan mengedepankan nalar atau akal sehat (ilmiah) dalam melihat dan menyelesaikan suatu masalah.
Selain tradisi ilmiah terbangun dalam dunia politik, ternyata tradisi irasional non-ilmiah, primitif dan tradisional juga ikut tumbuh subur dalam masyarakat yakni praktik dukun politik. Fenomena kepercayaan tentang perdukunan, dunia gaib dan makhluk halus ada dalam setiap bangsa di dunia ini dengan versi masing-masing. Saya kira semua etnis di Indonesia mengenal yang disebut dukun atau “orang pintar” atau “orang tua” atau paranormal atau shaman (Inggris). Dukun tak lain adalah seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang dianggap atau dipercaya sebagian masyarakat mempunyai kelebihan khusus (linuwih) berupa kemampuan dapat melihat (menerawang) kehidupan dunia lain (gaib) dan sekaligus mampu berkomunikasi dengan makhluk dunia gaib atau makhluk halus seperti: hantu, jin, siluman, setan, iblis, roh, gendruwo, kuntilanak, sundelbolong, tuyul, wewe, demit, leak, buto ijo, ratu kidul, dan lain-lainnya.
Dengan kemampuan yang dimiliki tersebut, sang dukun dapat melakukan ritual untuk praktik kegiatan yang berkaitan dengan penyembuhan penyakit, mengobati orang kesurupan, meramal nasib kehidupan ke depan, mencari perjodohan/pasangan hidup, agar laris/sukses dalam berdagang/berusaha, agar dikasihi/dicintai banyak orang (pengasihan), agar wajah selalu tampak menarik dan cantik/tampan (pasang susuk), agar sukses dalam meniti karir, untuk menyakiti/membunuh lawan (tenung/santet), untuk kekebalan tubuh dari senjata tajam (kadigdayan) dan sebagainya. Tentunya untuk ritual-ritual tersebut sang dukun memerlukan persyaratan tertentu (ubarampe atau sesajen) sesuai dengan tujuan ritual dan permintaan makhluk halus.
Praktik perdukunan di Indonesia yang semula hanya berkaitan dengan persoalan kesehatan, ritual keyakinan, sosial-budaya, dan ekonomi ternyata sejak memasuki era demokrasi telah merambah ke dunia politik atau kekuasaan yang tampak lebih terbuka dan intensif dalam menjaring pelanggan. Malahan menjelang Pemilu 2014 sudah banyak dukun politik memasang iklan politik melalui panflet dan media online /internet. Tampaknya dukun politik yang non ilmiah tidak mau kalah dengan lembaga survei ilmiah dalam bersaing untuk menggaet pelanggan. Semua bertujuan sama untuk membantu peminta jasa agar tercapai yang dicita-citakan dengan cara yang berbeda .
Salah satu dukun politik membeberkan secara blak-blakan dalam iklannya bahwa mahar atau harga ramalan politik versi dukun ini untuk caleg kabupaten kota bertarif Rp100 juta, tingkat provinsi Rp200 juta, untuk caleg pusat/DPR Rp300 juta. Untuk calon kepala daerah wali kota/bupati harus menyediakan mahar Rp2 miliar, gubernur minimal Rp5 miliar tergantung wilayahnya. Sedangkan untuk calon presiden Rp1 triliun. Sang dukun politik memberikan jaminan bakal jadi setelah mengikuti ritual-ritual tertentu dan dengan persyaratan tertentu. Sang dukun yang pasang iklan ini sudah praktik dukun politik sejak mengklaim banyak politisi dan calon kepala daerah yang sukses dikawalnya.
Sejumlah pilkada yang baru saja berlangsung di wilayah Sumsel tahun 2013 ini juga tidak dapat dilepaskan dari praktik dukun politik sebagaimana terjadi juga di daerah lain di Indonesia ini. Selain meminta jasa konsultan politik yang rasional ilmiah, berita yang berkembang dalam masyarakat, semua pasangan calon kepala daerah di Sumsel baik calon bupati/wali kota/gubernur juga minta jasa kepada dukun politik yang bersifat irasional non ilmiah, baik dukun yang ada di Sumsel maupun dari Jawa. Dukun politik ada yang berwajah terang benderang sebagai dukun politik tetapi dapat juga bertopeng kyai atau ahli agama. Hanya saja praktik dukun politik dilakukan secara diam-diam dan tertutup atau operasi senyap, jangan sampai diketahui oleh lawan politiknya atau masyarakat. Kondisi ini mungkin yang bersangkutan menyadari bahwa tindakan yang dilakukan masuk ketegori tidak fairplay, memalukan dan masuk kategori perbuatan syirik. Akan tetapi yang bersangkutan tidak kuasa untuk mencegah minta jasa ke dukun politik karena takut gagal atau kalah dalam berkompetisi.
Mengapa para kandidat legislator, kandidat kepala daerah, kandidat kades, mungkin juga kandidat presiden yang umumnya sudah berpendidikan tinggi dan menganut agama masih juga lari minta bantu kepada dukun politik? Sejumlah alasan dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, dapat diduga kemungkinan besar yang bersangkutan tidak percaya diri akan kapasitasnya baik dari segi intelektualitas, wawasan, kepopuleran atau ketenaran, pendanaan dan modal-modal sosial lainnya seperti kedekatan dengan masyarakat, jaringan sosial dan sebagainya. Untuk membayar kekurangan-kekurangan tersebut, maka yang dianggap praktis dan mungkin juga lebih murah dan diyakini akan sukses adalah dengan melalui operasi senyap minta jasa dukun politik. Untuk membayar konsultan yang rasional ilmiah tidak mampu karena umumnya sangat mahal. Sedangkan dukun masih bisa ada yang murah. Kelihatannya ada korelasi positif antara keterbatasan dan kemampuan diri dengan minta bantu dukun politik. Kandidat yang merasa tidak mampu dan tidak percaya diri ada kecenderung kuat minta jasa dukun politik yang keberadaannya bervariasi.
Kedua, dari segi kualitas keimanan dalam beragama, yang bersangkutan mungkin masih rendah keimanannya sehingga masih dapat terkontaminasi oleh perbuatan syirik. Khusus dalam ajaran agama Islam, umat Islam diajari untuk meminta sesuatu / berdoa langsung kepada Allah swt tanpa harus melalui perantara dan ritual beserta sesajen yang aneh-aneh yang tidak diajarkan dalam agama Islam. Umat Islam yang sungguh-sungguh bertaqwa, yang yakin akan kebesaran Allah, akan kemurahan Allah, akan ridha Allah dan sebagainya pasti tidak akan terjebak dan percaya dengan ritual dukun politik atau kyai politik yang belum pasti kebenarannya. Jadi, mereka yang kurang bertaqwa mudah untuk percaya kepada dukun politik.
Ketiga, mereka yang lari ke dukun politik berdalih untuk mencari keseimbangan usaha antara usaha lahiriah (ilmiah) dan usaha batiniah dengan melalui dukun politik. Semua usaha lahir dan batin harus dikerahkan dan ditempuh untuk menggapai cita-cita. Sayangnya jalan yang ditempuh melalui dukun politik, bukan bersimpuh dan bersujud secara khusuk di hadapan Allah swt. Manusia wajib berusaha secara lahiriah dan berdoa sebagai usaha spiritual sesuai dengan kayakinannya yang benar. Jika orang Islam tentu berdoa secara langsung kepada Allah swt, bukan minta-minta ke dukun politik.
Keempat, mereka yakin bahwa dengan usaha ke dukun politik yang irasional dengan bantuan kekuatan gaib maka segalanya dapat berubah. Dengan kekuatan gaib maka ketidakpastian kemenangan akan menjadi kepastian kemenangan, ketidakpercayaan akan kemampuan diri akan menjadi kepercayaan diri, semuanya dapat berubah hanya dengan bantuan dukun politik. Jelas, mereka yang yakin dan bersikap seperti ini sama saja meletakkan dirinya dalam posisi yang sangat hina dan rendah. Pendidikan tinggi dengan sederet gelar akademik yang diperoleh bertahun-tahun dengan biaya tidak sedikit tidak ada maknanya apa-apa. Rasionalitas ilmiah dicampakkan, irasionalitas non ilmiah disanjung tinggi. Sungguh tragis.
Pemilu/pilkada merupakan ritual politik yang rasional. Pemilihnya bukan makhluk halus seperti jin, gendruwo, tuyul dan sebagainya. Pemilihnya adalah manusia yang perilakunya sebagai pemilih dapat dipelajari sehingga dapat diperhitungkan dan diprediksi secara ilmiah. Berbagai lembaga survei sudah membuktikan dan dapat memprediksi secara akurat siapa kalah siapa menang dalam pemilu/pilkada. Masihkah kandidat percaya dengan dukun politik yang tidak jelas dan tidak pasti prediksinya?. Siapa yang berani dan dapat membuktikan bahwa kemenangan dalam kompetisi politik hanyak dikarenakan semata-mata usaha dukun politik? Jika memang sang dukun politik itu hebat dan berani menjamin menang, maka kandidat tidak perlu kampanye, tidak perlu pasang baliho, tidak penting bagi-bagi souvenir, lebih baik duduk manis tinggal menunggu hasil pemilu. Mungkinkah?. Daripada uang diberikan ke dukun politik yang tidak ada kepastian berikan saja kepada pemilih. Itulah pilihan rasional dan anda akan dipilih!.
Dukun politik sudah menjadi fenomena baru dalam meraih kekuasan politik dan ternyata praktik perdukunan politik semakin marak dalam masyarakat. Karena permintaan masyarakat akan jasa dukun politik semakin banyak, maka wajar jika dukun-dukun politik baru pun bermunculan. Oleh karena itu, patut ada kajian lebih mendalam baik secara sosial budaya (sosiologis-anthropologis) dan agama/keyakinan bagaimana seluk beluk para dukun politik menjalani ritual dengan pelanggannya dan sebagainya.
Sumber:www.sumeks.co.id
No comments:
Post a Comment