Wednesday, January 1, 2014

Perlu Terobosan Teknologi Antikorupsi

Rakyat sangat berharap agar pemberantasan korupsi bisa dilakukan secara cepat, menyeluruh dan tuntas. Akibatnya, volume dan bobot kasus korupsi yang ditangani oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) semakin bertambah sehingga mengharuskan lembaga itu mencari metode kerja yang lebih efektif dibantu dengan peralatan yang super canggih.

Film Iron Man yang dibintangi oleh Robert Downey JR bisa menjadi inspirasi tentang kecanggihan perangkat keras dan lunak untuk memberantas kejahatan korupsi. Modus korupsi yang semakin kompleks, rigid dan dilakukan secara “berjamaah” mencuatkan pentingnya Leapfrogging teknologi antikorupsi.
Leapfrogging atau lompatan katak yang mentransformasikan teknologi antikorupsi itu sangat membantu proses intelijen yang dilakukan oleh KPK. Maka jika indikasinya cukup kuat, dilakukan aksi mata-mata (surveillance), seperti menaruh kamera tersembunyi untuk menangkap basah sang pelaku pada saat melakukan transaksi fisik. Peralatan atau laboratorium yang dimiliki oleh KPK mesti dimodernisasi. Peralatan pengintai konvensional yang dimiliki oleh KPK suatu saat nanti bisa dilengkapi dengan Spy-Bat (Robot Kelelawar Mata-mata) yang mampu mengambil gambar, suara dan bahkan bau (smells) yang ada di sekitarnya. Lalu, data yang ada dapat langsung ditransfer secara real time ke markas KPK.

Diperlukan laboratorium antikorupsi yang canggih dan terintegrasi. Peralatan yang dimiliki oleh KPK tidak sekadar perangkat teknologi sadap telepon. Ada baiknya jika laboratorium itu menyerupai sistem Command, Control, Communications, Computers, Intelligence, Surveillance and Reconnaissanse (C4ISR) yang dimiliki oleh aparat intelijen negara-negara maju. Sistem C4ISR berbasis jaringan terpusat yang fungsinya memungkinkan dilakukannya operasi yang tidak terbatasi hanya pada komando, kontrol, komunikasi dan intelijen saja, tetapi lebih jauh memastikan terjadinya kemampuan koordinasi serta peningkatan kinerja intelijen yang boleh jadi ditambah pemanfaatan sistem Surveillance and Reconnaisancenya secara real time.

Bagian vital lainnya yang harus ditransformasikan adalah teknik investigasi atau ICT Forensic. Sehingga analisa terhadap laporan transaksi keuangan, baik yang ada di bank maupun hasil audit akuntansi dan juga audit atas alat komunikasi atau komputer bisa dilakukan secara cepat dan akurat. Untuk kasus penggelapan pajak, KPK bisa memakai citra resolusi tinggi seperti Quickbird guna mengetahui objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sehingga bisa diidentifikasi secara detail, seperti aset-aset yang ada di suatu tempat (rumah, kolam renang, lapangan golf, dan lain-lain) untuk diuji silang dengan status kepemilikan dan perpajakannya. Dengan ini, korupsi di sektor hulu perpajakan bisa ditanggulangi.


Lab Antikorupsi
Pada saat ini praktik korupsi telah menjadi budaya dan perilaku yang telah mengakar di kalangan pejabat dan pemerintahan di Indonesia. Sederet kasus korupsi seperti kasus Tri Urip Gunawan (Kejaksaan Agung) hingga kasus Al Amin Nasution (DPR) masih menyisakan tabir gelap yang mesti diungkap secara komprehensip. Dengan demikian eksistensi laboratorium antikorupsi yang terintegrasi sangat penting karena para koruptor kebanyakan berlatar belakang intelektual yang mampu mengelabui, merekayasa alibi, bahkan melenyapkan dan mengacaukan barang bukti. Selain itu anatomi korupsi saat ini yang bentuknya sangat rumit secara praktis dapat diurai dalam laboratorium itu. Salah satu bagian dari laboratorium itu adalah teknik canggih untuk penyadapan telepon (law full intersection).

Kewenangan KPK untuk menyadap sarana komunikasi termasuk telepon genggam (handphone) dan merekam pembicaraan sesuai Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 harus dimaknai dengan teknologi canggih. Idealnya KPK dalam waktu dekat ini juga melengkapi lembaganya dengan teknologi investigasi dan tenaga kompetensi semacam fraud auditor. Fraud auditor KPK harus menguasai beberapa teknik investigasi, antara lain; teknik penyamaran atau teknik penyadapan dan teknik wawancara. Dalam konteks ini diperlukan perangkat lunak seperti Computer Assisted Audit Tools (CAAT). KPK harus memiliki SDM yang kredibel sehingga bisa bersinergi dengan vendor dan operator selular seperti GSM, CDMA dan lain-lain.

Begitu pula, alat pelindung atau anti penyadapan juga sudah banyak ragamnya serta juga mudah didapat di pasar. Seperti halnya Radio Frequency Detector yang dapat melindungi seseorang dari tindak penyadapan dan rekaman kamera tersembunyi. Benda seukuran gantungan kunci itu mudah dan praktis dioperasikan, serta memiliki lampu indikator dan bunyi beep yang akan menyala bila ada frekuensi yang digunakan oleh kamera penyadap, penyadap suara dan penyadap telepon yang sedang beraksi.
Proses penyadapan KPK semakin kompleks dengan sistem telepon yang bersifat digital murni. Sebab semua koneksi akan dapat terpantau ID-nya (baik di pesawat penelpon maupun penerima). Sehingga antarkeduanya dapat saling mengetahui bila percakapannya tidak aman. Bahkan ada pula yang sudah menggunakan Telephone Scrambling System yang memungkinkannya ID pesawat telepon tidak bisa dilacak dari tempat lain karena seolah-olah berpindah terus atau bisa jadi menggunakan ID nomor telepon lain yang tidak aktif.
Oleh karena itulah pada saat ini banyak orang beralih ke sistem Global System for Mobile-communication (GSM), Code Division Multiple Access (CDMA); Personal Communication System (PCS) berteknologi digital yang jauh dikenal lebih aman dari berbagai teknologi penyadapan. Tentunya laboratorium antikorupsi mampu “menjebol” teknologi di atas. Karena secanggih apapun teknologi komunikasi yang dibuat tentunya memiliki kekurangan.


Lubang di LPSE
Di waktu mendatang dalam mengusut dan membedah kasus korupsi, KPK akan dihadang oleh berbagai masalah ICT. Misalnya dalam hal membedah anatomi korupsi dalam sebuah proyek yang penuh dengan inventory maka akan lebih praktis jika tenaga KPK memiliki keahlian dalam hal software Materials Requirement Planning (MRP) mutakhir yang mampu menganalisa dan menelusuri secara cepat berbagai bentuk penyimpangan dalam hal inventory.

Selain itu software tersebut secara cepat dapat memantau segala macam spesifikasi dari bill of materials yang berasal dari berbagai vendor sehingga praktik mark-up dan penyimpangan dapat diketahui secara cepat dan akurat. Begitu juga dengan korupsi yang menyertai pengadaan barang dan jasa.

Sistem elektronik pengadaan barang atau e-Procurement bisa jadi justru menjadi pisau bermata dua dan memuluskan aksi para koruptor. Ekspektasi terhadap sistem tender bertajuk Electronic Government Procurement (EGP) harus disertai dengan penyusunan toolkit untuk mencegah metamorfosa virus KKN pada sistem konvensional ke sistem elektronik. Metamorfosa atau perubahan bentuk virus KKN itu jauh lebih berbahaya, sistemik dan sulit dilacak oleh penegak hukum. Fenomena pisau bermata dua juga terlihat dalam program layanan elektronik dibidang tender atau pengadaan pemerintah. Ironisnya, proyek Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), baik di pusat maupun di daerah juga diboncengi oleh tindakan monopoli dan harga yang terlalu tinggi.
Ada baiknya kita evaluasi proyek percontohan LPSE yang didanai oleh USAID di empat provinsi. Ternyata tidak bisa selesai tepat waktu karena adanya monopoli teknologi (one system for all).
Proyek itu terjebak dalam biaya investasi tinggi tetapi dengan unjuk kerja yang rendah. Padahal, jika kita tengok proyek e-Procurement yang serupa di tempat lain, maka akan terlihat lebih murah, simple dan memakai aplikasi teknologi terbuka.
Sebagai contoh yang relevan adalah Sistem Aplikasi e-Procurement milik Pemkot Surabaya yang telah beroperasi sekitar tiga tahun yang lalu bernama Surabaya e-Procurement System (SePS). Ternyata pembangunan infrastruktur itu hanya dengan biaya investasi yang sangat murah, yakni sekitar Rp 150 juta. Bandingkan SePS dengan biaya investasi LPSE dari Bappenas yang menyedot dana US$ 5 jutaan hanya untuk 4 lokasi proyek yang hingga saat ini belum tuntas dan sistemnya masih memiliki lubang-lubang kelemahan.

Antara lain tidak adanya sistem cerdas untuk mencegah berbagai manipulasi, arisan tender dan pemalsuan data dari peserta tender. Selain sangat mahal dan monopoli teknologi, LPSE juga terlihat ruwet dan belum berhasil mengatasi problem regulasi. Proses Pengembangan e-Procurement seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang fair disertai dengan harga yang paling murah dan teknologi terbuka yang tidak bersifat monopoli pusat. Dalam hal ini Pemerintah pusat tidak perlu terlalu conformity alias terlalu intervensi atau mendikte pilihan teknologinya.

Ada baiknya Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) mengikuti perilaku elegan Bank Indonesia dalam handling nasabah dari bank-bank. BI tidak perlu intervensi dan mengatur bank-bank di Indonesia terkait software yang digunakannya untuk mengelola nasabah, simpanan, dan hutangnya. Untuk meminimalkan potensi kerugian dari nasabah nakal, mereka membuat sistem informasi debitur yang dapat diakses oleh bank-bank dan lembaga pembiayaan dengan tidak perlu melakukan penyeragaman (comformity) core banking system.

Analoginya seharusnya LKPP menempuh kebijakan yang tidak conformity terkait dengan solusi e-Procurement di Indonesia dan tidak mereduksi esensi otonomi dengan cara demikian. Seharusnya LKPP fokus membangun Tender Business Intelligence untuk memudahkan evaluasi kebenaran dan keakuratan data perusahaan peserta, kebenaran jaminan bank, kebenaran tenaga ahli (bukan sekadar peserta CV pinjaman untuk memenangkan tender), kebenaran pengalaman kerja, dan lain-lain. Semuanya itu harus bisa ditelisik secara cepat dan tepat oleh sistem informasi tersebut dari daerah hingga pusat. Sehingga kasus-kasus perusahaan bodong atau fiktif yang rakus tender dan eksistensi “tipu-tipu” berbagai syarat tender yang sering dimainkan oleh mafia tender bisa dicegah.

No comments:

Post a Comment