TELEVISI merupakan
media massa yang sampai saat ini dianggap paling memiliki pengaruh bagi
audiennya. Kedahsyatan efek yang dihasilkan dari penggabungan antara
elemen gambar (visual) dan suara (audio) membuat media ini menjadi
sasaran utama para kapitalis untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya
melalui iklan, para politisi untuk merebut pengaruh dukungan
sebesar-besarnya, maupun pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan
tertentu.
Saat
ini hampir tidak ada satupun stasiun televisi yang tidak menayangkan
acara komedi. Bahkan dari hasil survey 10 acara yang memiliki rating
tertinggi dari berbagai stasiun televisi, “Opera Van Java” masuk dalam urutan kelima yang notabene juga salah satu program lawak.
Hal
ini menandakan bahwa minat para pemirsa televisi terhadap hiburan yang
berupa humor, lawak atau komedi masih tergolong tinggi dibandingkan
dengan jenis-jenis program lainnya.
Besarnya
minat pemirsa televisi terhadap tayangan komedi tidak muncul begitu
saja akhir-akhir ini, namun hal itu terkait dengan pengalaman historis
yang sudah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu.
Kehadiran
seni budaya lokal seperti wayang orang, ludruk atau ketoprak di
masyarakat memicu kelahiran budaya humor di Indonesia yang kemudian
berkembang hingga muncul kelompok-kelompok komedian seperti Srimulat dan
Kwartet Jaya pada tahun 1960 hingga 1970-an. Kemudian pada era
selanjutnya tahun 1980-an muncul trio Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro)
dan grup lawak parodi Pancaran Sinar Petromak (PSP). Sedangkan di era
tahun 90-an, seiring dengan masuknya televisi swasta di Indonesia,
bermunculan lebih banyak lagi seperti Patrio (Akri, Parto, Eko), Bagito
(Miing, Unang, Didin), Komeng, dan masih banyak lagi. Gaya lawakan yang
mereka pakai umumnya berbeda-beda. Satu sama lain memiliki ciri khas
sendiri-sendiri.
Salah
satu gaya lawakan yang khas di Indonesia adalah dengan menampilkan
sosok banci atau waria, yaitu pria berdandan dan berperilaku ala wanita.
Sosok
waria atau banci dalam pentas lawakan negeri ini secara terang-terangan
sebenarnya sudah dibawa sejak kemunculan budaya Ludruk dan Ketoprak
pada puluhan tahun yang lalu.
Di
komunitas Ludruk Surabaya misalnya, tidak akan menarik oleh para
penggemarnya jika dalam pertunjukan-pertunjukan mereka sama sekali tidak
ada peran wanita yang dimainkan oleh laki-laki. Bahkan tak jarang
ditemui, para pemain Ludruk laki-laki yang telah puluhan memerankan
perempuan akhirnya memiliki kebiasaan perilaku seperti banci.
Muatan
unsur banci itu masih terbawa sampai hari ini dalam setiap acara komedi
yang ditampilkan di Indonesia. Bahkan pelawak Bing Slamet saat
meninggal dunia pada tahun 1974 pernah ditampilkan sebagai kover majalah
Tempo dengan foto berdandan waria.
Tidak ketinggalan Dono yang paling sering muncul dengan berdandan ala waria dalam film-film Warkop DKI.
Begitu juga Tessy (nama aslinya Kabul) yang
citranya tidak pernah lepas dari dandanan waria dengan memakai wig dan
cincin batu akik yang berderet di seluruh jari tangannya.
Dari situ, kemudian sosok waria menjadi ciri khas lawakan ala Indonesia hingga saat ini.
Kini
di Indonesia, tanpa harus bermodal materi verbal yang berkualitas
sekalipun tidak jadi masalah. Cukup dengan menampilkan tokoh laki-laki
yang berdandan waria saja sudah bisa dipastikan akan mengundang tawa
penonton.
Meski saat ini mulai masuk budaya komedi show ala Barat seperti Stand Up Comedy, tetap saja model lawakan itu tidak dianggap sebagai ciri khas komedi asli Indonesia.
Lawakan Opera Van Java, tetap menjadi urutan pertama dalam rating acara komedi yang ditonton di televisi saat ini.
Dirty Jokes
Disadari atau tidak, lawakan dengan menonjolkan figur waria sebenarnya memiliki muatan negatif yang tidak sedikit.
Pertama,
dari sudut pandang syariat, jelas kita dilarang berdandan menyerupai
lawan jenis dan berperilaku layaknya kaum Luth (homoseksual/gay/banci).
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam pernah secara tegas melaknat banci dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Abbas, dia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat al-mutarajjilat (wanita yang bicara dan tingkah-lakunya menyerupai lelaki) dari wanita, dan melaknat al-mukhannatsin (lelaki
yang bicara dan tingkah-lakunya menyerupai perempuan) dari lelaki, dan
dia berkata: “Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kamu sekalian”. Dia
berkata, maka Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam telah mengeluarkan
fulan, dan ‘Umar telah mengeluarkan/ mengusir fulan.” (HR Ahmad, sanadnya shahih menurut syarat Al-Bukhari, kata Syu’aib Al-Arna’uth).
Mohd Yusof Hussain, seorang peneliti bidang komunikasi asal Malaysia pernah membahas tentang jenis-jenis kemunkaran yang sering ditayangkan pada media televisi salah satunya adalah adegan gurauan yang mengarah pada hal-hal jorok/ kotor (dirty jokes).
Dia mengatakan dalam penelitiannya, bahwa hal tersebut masuk dalam kategori kemunkaran yang disinggung dalam al-Quran Surat Ali-Imran 104 dan 110 yang berarti perbuatan dan kebiasaan yang telah keluar dari batas-batas hukum moral Allah Subhanahu Wata’ala.*/bersambung sudahkan kedudukan KPI memenuhi masyarakat?Sumber: http://www.hidayatullah.com
No comments:
Post a Comment