Booming social media dimulai sejak masuknya twitter ke Indonesia pada 2009 setelah setahun sebelumnya Facebook yang sudah lebih dulu eksis di jagad maya Tanah Air.
Pada awal kemunculannya, social media hanya dijadikan sarana
berkomunikasi, ngobrol dengan teman lama, dan hanya sebagai media
menumpahkan uneg-uneg atau pun apa yang dirasakan seseorang. Namun,
lama-lama social media telah menjadi media pribadi layaknya sebuah blog
atau website untuk menyampaikan suatu informasi atau berita atau sebagai sarana pencitraan diri dan perusahaan atau partai.
Menurut Muhammad Fikri, praktisi internet yang sudah malang melintang
di dunia social media sejak 2004, social media merupakan alat bantu
personal branding, yang mana belakangan kemudian berkembang menjadi
company branding.
Efek dari perkembangan social media yang sangat pesat adalah
munculnya fenomena buzzer dan tweet berbayar yang di Indonesia memicu
pada tren jual beli follower.
Fenomena buzzer mulai muncul sejak 2010, saat sejumlah perusahaan
yang bergerak di berbagai bidang usaha membutuhkan seseorang yang bisa
memasarkan produk atau layanannya secara efektif di social media.
Belakangan bukan hanya perusahaan, bahkan politikus atau pejabat pun
sangat membutuhkan buzzer untuk pencitraan diri.
Seorang buzzer biasanya berawal dari seorang blogger atau pemilik
mailing list komunitas tertentu hingga memiliki potensi follower banyak.
Motif utama seorang buzzer kebanyakan adalah motif ekonomi, tapi tidak
selalu kompensasi yang diberikan berupa uang cash, bisa juga produk atau
paket wisata dan fasilitas lainnya.
Bila dilihat tarif buzzer, memang sangat menggiurkan. Menurut seorang
buzzer yang sekarang naik tingkat jadi KOL atau Key Opinion Leader,
Hazmi Srondol, seorang buzzer bisa berpenghasilan antara Rp 2 juta
sampai Rp 200 juta per bulan. Sangat menggiurkan, sehingga wajar cukup
banyak profesional yang sudah mapan di suatu perusahaan atau media tapi
resign dan memilih berkarir sebagai buzzer.
Sekali tweet atau tulisan di blog, seorang buzzer bisa dibayar Rp 2
juta per tweet atau tulisan, tergantung jumlah followernya. Tak jarang
juga selebritis terkenal yang memiliki follower ratusan ribu menyambi
sebagai buzzer. Pemasaran sebuah brand atau produk melalui buzzer memang
merupakan cara yang efektif untuk menciptakan brand awareness suatu
produk atau layanan.
Sebelum 2012, tarif buzzer sangat tinggi, karena memang belum banyak
pemainnya. Sejak 2012 itu lah fenomena buzzer makin berkembang bak jamur
di musim penghujan, sangat banyak dan masing-masing buzzer bahkan bisa
saling bergesekan atau menyerang satu sama lain.
Yang jadi pertanyaan adalah, sampai kapan fenomena buzzer atau akun
twitter berbayar bisa menjalankan usahanya? Mengingat siklus social
media biasanya setiap enam tahunan dan bila itu terjadi berarti tahun
depan adalah saat kematian Facebook dan setahun berikutnya adalah twitter, menyusul Friendster yang sebelumnya telah mati.
Sumber:www.merdeka.com
No comments:
Post a Comment