Saturday, January 4, 2014

Fenomena Buzzer dan Tweet Berbayar di Indonesia

 Booming social media dimulai sejak masuknya twitter ke Indonesia pada 2009 setelah setahun sebelumnya Facebook yang sudah lebih dulu eksis di jagad maya Tanah Air.
Pada awal kemunculannya, social media hanya dijadikan sarana berkomunikasi, ngobrol dengan teman lama, dan hanya sebagai media menumpahkan uneg-uneg atau pun apa yang dirasakan seseorang. Namun, lama-lama social media telah menjadi media pribadi layaknya sebuah blog atau website untuk menyampaikan suatu informasi atau berita atau sebagai sarana pencitraan diri dan perusahaan atau partai.
Menurut Muhammad Fikri, praktisi internet yang sudah malang melintang di dunia social media sejak 2004, social media merupakan alat bantu personal branding, yang mana belakangan kemudian berkembang menjadi company branding.
Efek dari perkembangan social media yang sangat pesat adalah munculnya fenomena buzzer dan tweet berbayar yang di Indonesia memicu pada tren jual beli follower.
Fenomena buzzer mulai muncul sejak 2010, saat sejumlah perusahaan yang bergerak di berbagai bidang usaha membutuhkan seseorang yang bisa memasarkan produk atau layanannya secara efektif di social media. Belakangan bukan hanya perusahaan, bahkan politikus atau pejabat pun sangat membutuhkan buzzer untuk pencitraan diri.
Seorang buzzer biasanya berawal dari seorang blogger atau pemilik mailing list komunitas tertentu hingga memiliki potensi follower banyak. Motif utama seorang buzzer kebanyakan adalah motif ekonomi, tapi tidak selalu kompensasi yang diberikan berupa uang cash, bisa juga produk atau paket wisata dan fasilitas lainnya.
Bila dilihat tarif buzzer, memang sangat menggiurkan. Menurut seorang buzzer yang sekarang naik tingkat jadi KOL atau Key Opinion Leader, Hazmi Srondol, seorang buzzer bisa berpenghasilan antara Rp 2 juta sampai Rp 200 juta per bulan. Sangat menggiurkan, sehingga wajar cukup banyak profesional yang sudah mapan di suatu perusahaan atau media tapi resign dan memilih berkarir sebagai buzzer.
Sekali tweet atau tulisan di blog, seorang buzzer bisa dibayar Rp 2 juta per tweet atau tulisan, tergantung jumlah followernya. Tak jarang juga selebritis terkenal yang memiliki follower ratusan ribu menyambi sebagai buzzer. Pemasaran sebuah brand atau produk melalui buzzer memang merupakan cara yang efektif untuk menciptakan brand awareness suatu produk atau layanan.
Sebelum 2012, tarif buzzer sangat tinggi, karena memang belum banyak pemainnya. Sejak 2012 itu lah fenomena buzzer makin berkembang bak jamur di musim penghujan, sangat banyak dan masing-masing buzzer bahkan bisa saling bergesekan atau menyerang satu sama lain.
Yang jadi pertanyaan adalah, sampai kapan fenomena buzzer atau akun twitter berbayar bisa menjalankan usahanya? Mengingat siklus social media biasanya setiap enam tahunan dan bila itu terjadi berarti tahun depan adalah saat kematian Facebook dan setahun berikutnya adalah twitter, menyusul Friendster yang sebelumnya telah mati.

Sumber:www.merdeka.com

No comments:

Post a Comment