Fenomena Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah fenomena
universal yang dapat terjadi tanpa memandang usia, profesi, tingkat ekonomi
maupun pendidikan dari individu yang mengalaminya . Beberapa publik figur di
bidang hiburan Indonesia yang juga diketahui mengalami KDRT, sebut saja Imaniar
oleh suaminya Max Don, Maia Estianti, dan Five-V . Selain publik figur, KDRT
seringkali menimpa perempuan-perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah
tangga, seperti kasus Ibu Lisa berikut ini:
“Siti Nurjazilah atau lebih dikenal dengan nama Lisa, terpaksa
harus menjalani hari-harinya dengan mengurung diri di rumah. Wajahnya rusak
karena disiram oleh air keras oleh suaminya sendiri. Suaminya yang sangat
pencemburu melakukan penyiraman agar Lisa yang berwajah cantik tidak mungkin
lagi berhubungan dengan laki-laki lain. Setelah disiram air keras pun, Lisa
tidak diijinkan untuk keluar rumah. Hal ini disebabkan karena suaminya takut
tindakannya terhadap Lisa diketahui oleh masyarakat di lingkungan tempat
tinggalnya” (Gema Pria BKKBN, 10 Oktober 2006).
Sumber: Gema Pria BKKBN-www.bkkbn.go.id
Fenomena KDRT seringkali diselesaikan dengan berbagai
cara, seperti contoh kasus diatas dimana kasus KDRT ‘selesai’ dengan cara
membuat korban mengalami cacat permanen di tubuhnya. Terdapat banyak kasus KDRT
pula yang diselesaikan dengan jalan lainnya, misalnya saja perceraian. Fenomena
KDRT dalam kasus perceraian artis bisa jadi hanya sebagian kecil contoh dari
banyak kasus KDRT yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan hasil pemantauan di 43
Pengadilan Agama (PA) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) mencatat banyak kasus perceraian yang didasari oleh berbagai bentuk
KDRT (Hukumonline, 4 Juli 2008).
Banyaknya kasus KDRT yang terjadi di Indonesia merupakan
cerminan gagalnya sebuah keluarga membangun dan membina sebuah kondisi rumah
tangga yang kondusif dan nyaman bagi setiap anggota keluarga yang berlindung
didalamnya . Istilah “keluarga” mengacu pada rasa aman dan dilindungi, kondisi
yang bersifat pribadi dan sebagai tempat berteduh dari tekanan-tekanan dan
kesulitan di luar rumah. Keluarga juga berarti tempat dimana anggota keluarga
bisa merasakan eksistensinya dalam keadaan damai, aman dan tentram. Namun
ironisnya, keluarga bisa berpotensi sebagai “pusat terjadinya kekerasan” dimana
anggota keluarga bisa menjadi sasaran kekerasan. Contoh kasus yang dipaparkan
diatas mencerminkan bahwa keluarga bisa sangat berpotensi sebagai pusat
terjadinya kekerasan.
KDRT dapat berbentuk beberapa tindakan kekerasan,
diantaranya kekerasan fisik, kekerasan emosional, maupun penelantaran ekonomi
Kekerasan fisik yang dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit, atau luka berat. Misalnya saja bentuk kekerasan yang menggunakan
tangan kosong, seperti menyiram dengan air panas, menjambak rambut, mendorong,
meludahi dan menampar. Sedangkan kekerasan psikis merupakan perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang. Kekerasan jenis ini dapat berbentuk hinaan atau kata-kata kotor yang
merendahkan diri perempuan, seperti “kamu tidak berguna” atau “kamu tidak
menarik”. Luka terdalam sebagai dampak kekerasan psikis yang dialami individu
dapat juga menimbulkan trauma berkepanjangan. Selain itu, korban kekerasan bisa
juga jadi pelaku kekerasan di masa mendatang!” .
Bentuk kekerasan lainnya adalah kekerasan seksual dan
kekerasan dengan bentuk penelantaran rumah tangga. Kekerasan seksual dapat
berbentuk pemaksaan hubungan seksual. Walaupun sulit dibuktikan, bentuk
kekerasan ini juga sering dialami oleh perempuan, misalnya memaksakan
berhubungan seks walaupun istri sedang tidak sehat atau tidak mau, atau
melakukan perilaku seks menyimpang dengan istri. Penelantaran rumah tangga berarti
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja
yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali
orang tersebut (Scanzoni, 1988). Sebagaimana yang telah digambarkan diatas,
kaum yang sering menjadi korban kekerasan adalah perempuan.
Seperti yang tergambar pada data kasus kekerasan yang
ditangani oleh Jaringan Relawan Independen (JaRI) periode April 2002-Juni 2007,
bahwa 92 % dari 263 kasus kekerasan yang masuk, korbannya adalah perempuan. Walaupun
angka kejadian KDRT di Indonesia sulit diperoleh secara pasti, angka-angka
berikut ini dapat dijadikan gambaran tentang tingkat kejadian kasus KDRT di
Indonesia. Sebuah artikel dalam harian Pikiran Rakyat (6 Desember 2007)
menyebutkan, bahwa 173 kasus dari 263 kasus kekerasan yang ditangani oleh
Jaringan Relawan Independen (JaRI) periode April 2002-Juni 2007, adalah kasus
KDRT. Selain itu, 83 kasus dari 140 kasus kekerasan yang ditangani oleh LBH
APIK dalam empat bulan awal 2007 pun merupakan kasus KDRT. Selanjutnya data
Komnas Perempuan pun menunjukkan bahwa 82 % dari 20.391 kasus kekerasan yang
ditanganinya juga merupakan kasus KDRT. Data-data yang dipaparkan diatas
hanyalah sebagian kecil dari fenomena KDRT yang sesungguhnya, karena fenomena
ini merupakan fenomena “gunung es”. Jumlah nominal kasus KDRT yang terjadi
sebenarnya adalah jauh dari angka-angka kejadian yang diperoleh berdasarkan
laporan ataupun pengaduan. Laporan dari beberapa LSM pun menggambarkan adanya
kenaikan jumlah kasus KDRT dari tahun ke tahun.
Kekerasan jenis ini sangat sulit diungkap karena pertama,
KDRT oleh sebagian besar orang akan dianggap sebagai hal yang lumrah atau
biasa-biasa saja. Kedua, perempuan korban kekerasan menganggap orang lain tidak
akan menganggap penting persoalan ini. Perempuan cenderung memilih diam dan
memendam sendiri masalahnya karena ia takut apabila ia bicara, dan meminta
dukungan atau pertolongan ke orang lain ia akan disalahkan lagi. Di samping itu
ia juga takut tidak akan mendapatkan dukungan dari keluarga. Tak jarang apabila
korban melapor ke polisi kadang-kadang korban memperoleh jawaban bahwa masalah
keluarga harus diselesaikan sendiri dalam keluarga”.
Proses penilaian, pemaknaan dan pengambilan keputusan
individu dalam menghadapi KDRT yang dialaminya tidak terlepas dari proses
kognitif individu dalam memandang dirinya sendiri dan lingkungannya. Penilaian
kognitif berbentuk persepsi, biasa disebut juga sebagai konsep diri. Penilaian
ini ditanamkan pada pola pikir perempuan di Indonesia mengenai ‘kekerasan’ yang
terjadi dalam rumah tangga. Sehingga kekerasan-kekerasan tersebut seringkali
diartikan sebagai hal yang wajar dan tidak seharusnya diumbar dihadapan publik,
karena hal itu dianggap sebagai ‘rahasia dapur sebuah rumah tangga’ .
Banyaknya kasus KDRT yang terjadi pada kehidupan rumah
tangga keluarga Indonesia hendaknya mendapat perhatian yang lebih intensif
lagi. Sebagaimana telah dituturkan sebelumnya, bahwa faktor budaya seringkali
mengharuskan para perempuan korban KDRT menelan pil pahitnya seorang diri,
sehingga mereka tidak mampu menghasilkan keputusan yang dapat dinilai
membebaskan dirinya dari KDRT yang dialaminya, misalnya perceraian. Dari dua
kemungkinan pengambilan keputusan dalam menghadapi KDRT yang dialaminya, yaitu
bertahan dalam perkawinannya atau bercerai, dapat dikatakan seorang perempuan
lebih memilih untuk bertahan dalam perkawinannya daripada bercerai .
Sejalan dengan berlakunya UU PKDRT, banyak pula korban KDRT
yang berani menentukan sikap dan mengambil keputusan untuk bercerai, karena
mereka merasa ada jaminan hukum yang akan melindungi diri mereka serta
keputusan yang mereka ambil . Bertahan atau tidaknya seorang individu korban
KDRT dalam perkawinannya akan sangat tergantung pada bagaimana individu
memandang dirinya sendiri, serta bagaimana individu tersebut mengkonsepsikan
segala atribut yang melekat dalam dirinya sendiri sebagai suatu keutuhan diri
individu . Berdasarkan fenomena yang terjadi dilapangan dan yang telah peneliti
paparkan sebelumnya, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai
konsep diri para perempuan korban KDRT, terutama para korban tindak KDRT yang
memutuskan untuk tetap bertahan dalam perkawinannya. Bagaimana individu
memandang dirinya sendiri, lingkungannya serta keputusannya untuk tetap bertahan
dalam perkawinannya walaupun mengalami KDRT.
II. SEKILAS TENTANG KDRT
KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan
yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik,
psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang
terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan
istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan
emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri.
Setelah membaca definisi di atas, tentu pembaca sadar bahwa kekerasan pada
istri bukan hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun juga penyiksaan verbal
yang sering dianggap remeh namun akan berakibat lebih fatal dimasa yang akan
datang.
III. PENYEBAB DAN DAMPAK KDRT
Penyebab umum KDRT :
1.
Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan
menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak
toleran.
2.
Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara
dalam masyarakat.
3.
Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam
rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah
sosial.
4.
4. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama
mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi
suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
5.
Budaya bahwa istri bergantung pada suami,
khususnya ekonomi.
6.
Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang
tidak stabil.
7.
Pernah mengalami kekerasan pada masa
kanak-kanak.
8.
Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan
perempuan inferior.
9.
Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang
hidup dengan orang tua yang sering melakukan kekerasan pada ibunya atau
dirinya.
10.
Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor
dikarenakan dari masyarakat sendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan
dalam rumah tangganya, maupun dari pihak- pihak yang terkait yang kurang
mensosialisasikan tentang kekerasan dalam rumah tangga, sehingga data kasus
tentang (KDRT) pun, banyak dikesampingkan ataupun dianggap masalah yang sepele.
Masyarakat ataupun pihak yang tekait dengan KDRT, baru benar- benar bertindak
jika kasus KDRT sampai menyebabkan korban baik fisik yang parah dan maupun
kematian, itupun jika diliput oleh media massa. Banyak sekali kekerasan dalam
rumah tangga ( KDRT) yang tidak tertangani secara langsung dari pihak yang
berwajib, bahkan kasus kasus KDRT yang kecil pun lebih banyak dipandang sebelah
mata daripada kasus – kasus lainnya.
11.
Masalah budaya, Masyarakat yang patriarkis
ditandai dengan pembagian kekuasaan yang sangat jelas antara laki –laki dan
perempuan dimana laki –laki mendominasi perempuan. Dominasi laki – laki
berhubungan dengan evaluasi positif terhadap asertivitas dan agtresivitas laki
– laki, yang menyulitkan untuk mendorong dijatuhkannya tindakan hukum terhadap
pelakunnya. Selain itu juga pandangan bahwa cara yang digunakan orang tua untuk
memperlakukan anak – anaknya , atau cara suami memperlakukan istrinya,
sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan
dalam rumah tangga ( KDRT).
12.
Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa aib
keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya
perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah
tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa sakit hati, masalah Domestik dalam
keluarga bukan untuk diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat berdampak
semakin menguatkan dalam kasus KDRT.
Dampak umum KDRT
1.
Dampak kekerasan terhadap istri yang
bersangkutan itu sendiri adalah: mengalami sakit fisik, tekanan mental,
menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya,
mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami
stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri.
2.
Dampak kekerasan terhadap pekerjaan si istri
adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari
bantuan pada Psikolog ataupun Psikiater, dan merasa takut kehilangan pekerjaan.
3.
Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan
kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku
yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan
anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah
menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain
sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya.
IV. CONTOH KASUS KDRT
Kabar mengejutkan datang dari Egi John Foreisythe,
aktor kelahiran 14 Juli 1988 tersebut dikabarkan mengalami KDRT
dari istrinya, Citta Permata, yang kini sudah diceraikannya. KDRT yang
terjadi pada 2011 silam ini diungkapkan sendiri oleh ibu Egi, Rina Fauziah,
yang tak terima dengan perlakuan Citta terhadap putranya. Menurut Rina, Egi dan
Citta memang kerap bertengkar saat masih berumah tangga. Namun lama-kelamaan
Egi lebih banyak bersabar dan mengalah setelah dikaruniai seorang anak dari
Citta, Jaden Foreisythe. Egi bahkan tak mau melaporkan Citta ke polisi karena
selalu teringat dengan Jaden.
“Dulu Egi suka berantem juga (dengan istrinya) tapi pas udah
punya anak, udah nggak,” kata Rina. “Dia apa-apa itu inget anak. Pas disiram
dan ditusuk itu Egi nggak mau ngelaporin.” Rina lantas menuturkan tentang penganiayaan
yang dialami Egi. Menurutnya, Citta sudah pernah menjambak rambut Egi atau
menyiramnya dengan minyak panas. “Kalau bertengkar Egi sering dijambak,
rambutnya rontok gara-gara keseringan dijambak,” ujarnya. “Sering dijambak,
padahal sudah ada kelemahan Egi sama rambutnya karena minyak panas.”
Di mata Rina maupun para tetangga, Egi sebenarnya adalah
laki-laki yang baik. Sebaliknya, Citta sendiri sudah dikenal sebagai wanita
gaul asal Pamulang. Tak hanya itu, Citta dikenal suka dugem dan ia pun dituding
membawa pengaruh buruk bagi Egi.
“Itu (dugem) bawa pengaruh ke Egi. Tadinya Egi nggak mau
dugem, tapi diajak terus sama Citta,” kata Rina. Kasus KDRT ini sendiri sudah
sampai di pihak berwajib dan sidangnya sudah beberapa kali digelar. Namun
sampai sekrang Citta belum pernah memberikan konfirmasi resmi terhadap kasus
ini.
Kasus
KDRT Cici Paramida - Inilah Kronologi Tindakan Suaminya
Setelah beberapa hari bungkam dan tak keluar rumah, penyanyi
dangdut Cici Paramida akhirnya mengadakan jumpa pers di Hotel Century Park,
Jakarta, kemarin (19/6). Pelantun lagu Wulan Merindu itu menceritakan kronologi
tindak kriminal suaminya, Raden Akhmad Suhaebi Hamsawi, saat tepergok selingkuh
Minggu malam lalu (14/6).
Mengenakan blus lengan panjang berwarna abu-abu, Cici yang
didampingi tiga pengacaranya tiba sekitar pukul 17.40 WIB. Wajahnya masih
terlihat lebam. Di pelipis dan rahang kanan tampak bekas-bekas memar. Kakak penyanyi
dangdut Siti Rahmawati atau Siti KDI itu memulai jumpa pers dengan memohon maaf
kepada media. Begitu membuka mulut, suara Cici terdengar agak bergetar seperti
menahan tangis. ”Mohon maaf, saya baru bisa muncul karena keadaan saya mulai
stabil,” katanya mengawali. Dia juga menyampaikan terima kasih kepada polisi
yang telah menangani kasusnya secara profesional.Sambil mencucurkan air mata,
perempuan yang menghilangkan tahi lalat di pipinya itu memberikan penjelasan.
Menurut Cici, saat itu dirinya melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Ebi
-panggilan akrab sang suami- menyetir di kawasan Puncak, Bogor, dari arah
Jakarta.
”Saat itu arah puncak agak padat merayap. Lalu, saya turun
dari mobil, mengetuk kacanya (mobil sang suami) karena memang dia yang bawa
sendiri. Di sampingnya, ada seorang wanita yang tidak saya kenal,” kisahnya
sambil menangis.
Cici menuturkan, saat itu Ebi menengok ke arah dirinya. Cici
pun berteriak, ”Pa, buka. Pa, buka, buka!” Tapi, kata Cici, teriakan itu tidak
dihiraukan. Karena itu, perempuan yang terlahir dengan nama Hamidah Idham
tersebut bergerak ke depan. Dia berharap agar mobil yang dikemudikan sang suami
berhenti. ”Tapi, nggak menyangka kalau mobil itu melaju cepat dan menabrak.
Akhirnya, saya tersungkur ke aspal,” ujarnya pilu. Cici tersungkur setelah
badannya terkena spion kanan mobil yang ditumpangi Ebi. ”Sejak menikah, ini
kali pertama kekerasan yang saya alami dari suami,” katanya.
Tak lama kemudian, sepupu Cici yang bernama Syahrul
membangunkan dia yang terkapar di jalan. Setelah masuk mobil Toyota Alphard,
Cici meminta sopir mengejar Ebi. Tapi, dia kesulitan karena mobil suami Cici
berjalan agak jauh. Lantas, Syahrul turun dan meminta bantuan pengendara
motor.Tidak begitu jauh, kata Cici, ada polisi yang sedang bertugas di jalan.
Alu -panggilan Syahrul- meminta tolong agar ikut mengejar. ”Polisi itulah yang
mengejar mobil suami saya dan menghentikan dia,” tuturnya.
Bagaimana Cici curiga suami berselingkuh? ”Karena insting.
Informasi saya banyak. Teman, sahabat. Saya juga banyak berdoa sama Allah,
minta diberi petunjuk. Kecurigaan istri mungkin lebih kuat ya,” jawabnya. Saat
bertemu sang suami di Mapolres Bogor, bahkan hingga saat ini, Cici menyatakan
belum sekali pun Ebi meminta maaf. Namun, ketika ditanya mengapa menabrak, Ebi
beralasan tidak melihat. ”Katanya, dia tak melihat (saya di depan mobil).
Tetapi, saya yakin, nggak mungkin seorang suami tidak melihat istri sendiri.
Apalagi, jaraknya sangat dekat,” kata Cici. Dua hari sebelum insiden tersebut,
tambah Cici, Ebi pamit kepada dirinya akan bepergian ke Demak. Saat itu ada
kiainya yang meninggal. ”Dia bilang sama saya pulang Minggu malam. Ternyata,
dia tidak bermalam di sana, hanya pergi pulang. Sudah ada di Jakarta, tapi
tidak bilang,” terangnya.
Cici tidak membantah bahwa belakangan ini rumah tangganya
bermasalah. Bahkan, mereka lama pisah ranjang. Tepatnya, itu terjadi 1,5 bulan
setelah menikah. ”Setelah resepsi, saya merasakan keganjilan. Saya shock.
Keluarga besar pun begitu. Itu terjadi setelah ada pemberitaan bahwa seorang
wanita mengaku masih istrinya,” ujar Cici. ”Om Adhyaksa (Menpora Adhyaksa
Dault, saksi pernikahannya, Red) yang menerima lamaran merasa dibohongi,”
lanjutnya. Apakah akan mengajukan gugatan cerai? ”Saya mau fokus di ranah hukum
yang ini dulu. Sebab, ini sudah diproses di kepolisian,” katanya.
Dalam perkembangan lain, Ebi akhirnya ditahan Polres Bogor
Kamis lalu (18/6). Dia dijerat dengan pelanggaran pasal 44 ayat 1 UU No 23
Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Pengusaha batu bara itu
tidak diperlakukan secara istimewa. Dia mendekam di sel bersama tersangka kasus
pemerkosaan. Menurut Kasatreskrim Polres Bogor AKP Moch. Santoso, penahanan Ebi
telah sesuai dengan UU. ”Tersangka telah kami tahan. Sebab, pasal KDRT yang
kami kenakan bukan delik aduan,” katanya. Dia menyebutkan, bukti-bukti berupa
hasil visum dan hasil pemeriksaan sudah bisa dijadikan bukti untuk menjadikan
Ebi sebagai tersangka. Dia diancam hukuman penjara lima tahun.
Untuk memperkuat bukti, polisi juga melakukan cek fisik
kendaraan Range Rover Nopol B 8308 YN milik Ebi. Mobil itu dijadikan barang
bukti. Di kendaraan tersebut, polisi menemukan goresan di bagian kiri. Sehari
setelah ditahan, Ebi dibesuk keluarga dan kerabat dekatnya. Puluhan keluarga
dan kerabat Ebi terus berdatangan hingga pukul 16.00 kemarin. ”Kami hanya ingin
melihat kondisi Ebi sekaligus memberikan dukungan dan semangat,” ujar Alviv
Malik, kerabat dekat Ebi. Alviv prihatin penahanan dilakukan setelah ada
laporan dari Cici. Ketika ditanya seputar rumah tangga Ebi dan Cici, Alviv
tidak bisa menjelaskan secara rinci. Tapi, dia mengakui, hubungan mereka sedang
bermasalah. ”Ebi jarang bertemu dengan Cici. Tapi, itu disebabkan Ebi sering
keluar kota untuk urusan kerja,” tuturnya.
Dari informasi yang diperoleh Radar Bogor (Jawa Pos Group),
keluarga Ebi mengupayakan damai dengan keluarga Cici. Mereka juga sedang
mengupayakan penangguhan penahanan. Tapi, Ebi juga dikabarkan melaporkan balik
istrinya. Menurut sumber di Polres Bogor, laporan Ebi terkait percobaan
pembunuhan, percobaan perampokan, dan tindakan tidak menyenangkan. AKP Moch.
Santoso membenarkan bahwa Ebi melaporkan balik Cici. Rencananya, polisi
memanggil Cici untuk dimintai keterangan Senin depan (22/6). ”Memang hak
tersangka jika ingin melaporkan balik istrinya. Terkait permintaan penangguhan
penahanan, dipersilakan asal mereka sudah melaporkan dan ada jaminan,”
tuturnya.
1. Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan
sosial bukan individual dan merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan
HAM.
2. Sosialiasasi pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan
yang tidak dapat dibenarkan dan dapat diberikan sangsi hukum. Dengan cara
mengubah pondasi KDRT di tingkat masyarakat pertama – tama dan terutama
membutuhkan.
3. Adanya konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan yang
tidak dapat diterima.
4. Mengkampanyekan penentangan terhadap penayangan kekerasan
di media yang mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa, menghibur dan
patut menerima penghargaan.
5. Peranan Media massa. Media cetak, televisi, bioskop,
radio dan internet adalah macrosystem yang sangat berpengaruh untuk dapat
mencegah dan mengurangi kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT). Peran media massa
sangat berpengaruh besar dalam mencegah KDRT bagaimana media massa dapat
memberikan suatu berita yang bisa merubah suatu pola budaya KDRT adalah suatu
tindakan yang dapat melanggar hukum dan dapat dikenakan hukuman penjara sekecil
apapun bentuk dari penganiayaan. 6. Mendampingi korban dalam menyelesaikan
persoalan (konseling) serta kemungkinan menempatkan dalam shelter (tempat
penampungan) sehingga para korban akan lebih terpantau dan terlindungi serta konselor
dapat dengan cepat membantu pemulihan secara psikis.
Sumber: Kompasiana
No comments:
Post a Comment