Thursday, January 30, 2014

Imlek dan Fenomena Angpao Sosial

Pengayaan Kultural Imlek

Pengayaan kultural adalah sebuah upaya pemaknaan baru terhadap kultur dari komunitas yang merupakan bagian atau agen dari kebudayaan itu sendiri. Pesan utama kedua bentuk pengayaan kultural itu gamblang: perayaan Imlek adalah momentum untuk saling berbagi terhadap sesama, terutama bagi mereka yang masih butuh uluran tangan. Imlek adalah momentum untuk memperkuat ikatan tali sosial dengan warga masyarakat Medan yang multikultur.
Jika semasa Orde Baru warga Tionghoa Indonesia hanya dapat merayakan Imlek terbatas di rumah masing-masing dan dilakukan diam-diam, serta tidak menyolok umum, maka seiring dengan dicabutnya Inpres 4 tahun 1967, serta keputusan pemerintah Megawati Soekarnoputri menjadikan perayaan Imlek sebagai hari libur nasional, maka ekspresi budaya warga Tionghoa Indonesia dalam menyambut dan merayakan Imlek menjadi kian terbuka.

Ekspresi budaya itu sendiri juga disertai representasi identitas ketionghoaan, yang kerap ditandai dengan simbol-simbol budaya yang sering disebut oriental. Sebut misalnya pemasangan lampion, baju cheongsam, pemberian angpao, pementasan barongsai dan pernik-pernik lainnya.
Sejumlah literatur menyebutkan bahwa Imlek dirayakan masyarakat Tionghoa dalam rangka menyambut datangnya musim semi. Menurut pakar kuliner China, Hiang Marahimin, Imlek adalah perayaan para petani di daratan Tiongkok yang bersyukur dengan hasil panen. Inilah yang membuat Imlek fokus pada makanan dan bertema anugerah yang melimpah ruah. Tujuannya hanya satu, yaitu sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang telah diberikan tahun lalu, dan meminta rezeki untuk tahun berikutnya. Hal ini diyakini, penampilan dan sikap di tahun baru menjadi penentu perjalanan di masa depan.

Selain makanan khas Imlek, umumnya ada dua penanda utama saat warga Tionghoa merayakan Imlek. Pertama. pemberian angpao dari orangtua kepada anak-anak mereka, atau anggota keluarga yang masih tergolong dekat seperti keponakan atau cucu yang belum bekerja atau memperoleh penghasilan, dan belum menikah. Pemberian angpao, adalah simbolisasi keberuntungan, kegembiraan dan semangat yang akan membawa pada nasib baik.

Kedua, perayaan Imlek juga ditandai dengan acara makan bersama anggota keluarga.  Namun budaya bukanlah sesuatu yang statis atau beku. Seiring dinamika sosial, para agen budaya juga sering melakukan tafsir ulang, atau memperkaya praktek budaya, agar ekspresi budaya yang dilakukan mampu merespon berbagai perubahan yang ada. Terutama perubahan sosial di lingkungan para agen budaya itu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Tujuannya tentu agar praktek berbudaya suatu komunitas tidak tercerabut dari konteks sosial politik dimana komunitas budaya itu berada. Saling pengaruh, saling mengisi, bahkan terbentuknya budaya baru (akulturasi) sebagai proses dialektika antar kebudayaan yang berbeda, bukan sesuatu yang mustahil.

Angpao Sosial

Dalam konteks dimana kemiskinan masih menjadi problem sosial dan politik yang belum sepenuhnya berhasil dientaskan negara, dan umat manusia di dunia, maka sudah sewajarnya jika kelompok masyarakat yang secara ekonomi lebih kuat membantu kelompok masyarakat yang masih lemah.
Di sinilah aksi sosial yang dilakukan organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan, termasuk juga yayasan-yayasan sosial marga Tionghoa dalam menyambut Imlek, menjadi fenomena kebudayaan yang menarik.

Keberadaan angpao, yang semula dimaksudkan sebagai bentuk subsidi, atau ungkapan syukur dari orang yang sudah bekerja kepada mereka yang belum bekerja, atau belum menikah, dan berdimensi internal, diperluas dimensinya sebagai subsidi sosial kepada sesama warga yang secara ekonomi masih perlu untuk diberdayakan.

Dengan kata lain, dimensi internal angpao diubah menjadi berdimensi eksternal. Munculah apa yang disebut fenomena angpao sosial. Karena itu apa yang dilakukan ormas-ormas seperti Lions Club, Rotary Club, INTI maupun PSMTI untuk menyebut beberapa organisasi yang sering membagikan bantuan paket sembako menjelang perayaan Imlek, tak lain merupakan perwujudan pengayaan kultural dalam menyambut perayaan Imlek.
Fakta ini memperlihatkan bahwa warga Tionghoa Indonesia bukanlah entitas budaya yang kaku dalam menghayati dan mengamalkan warisan budaya leluhur mereka.
Warga Tionghoa bersikap lentur, sekaligus adaptif dalam memperkaya praksis budaya mereka untuk merespon situasi sosial di sekeliling mereka.
 
Dalam beberapa kasus pemberian angpao sosial itu bahkan melintasi sekat perbedaan kesukuan dan agama yang ada. Ini sekaligus menandakan perayaan multikulturalisme tak menjadikan masyarakat Tionghoa Medan terjebak dalam resicinization (pentionghoaan kembali) sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak.

Memperkuat Relasi Sosial Pengayaan kultural juga dilakukan oleh beberapa tokoh masyarakat Tionghoa saat mereka menyelenggarakan kegiatan open house yang biasanya dihadiri relasi mereka yang berasal dari beragam latar belakang suku, agama, budaya dan status sosial.
Ragam hidangan yang disajikan pun berdimensi multikultural, dan tentu saja tidak bertentangan dengan ajaran agama yang ada. Begitulah saat acara open house, lontong Imlek dan rendang Imlek pun bersanding dengan kweetiaw goreng.
Di sini lagi-lagi muncul kelenturan budaya dari warga Tionghoa yang memperluas dimensi acara makan bersama keluarga menjadi makan bersama warga masyarakat untuk memperkuat relasi sosial yang ada.

Peribahasa Tionghoa kalau minum air jangan lupa sumbernya, sungguh-sungguh telah diberi tafsir baru. Masyarakat Tionghoa Medan bukan hanya setia pada warisan budaya leluhur mereka saja, namun lewat angpao sosial dan open house, mereka juga telah melakukan pengayaan budaya Imlek untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dimana mereka berada.
Dan hal ini barangkali merupakan kekhasan dalam menyambut perayaan Imlek di negara kita!.

Sumber : Harian Analisa

No comments:

Post a Comment