Pengayaan kultural adalah sebuah upaya
pemaknaan baru terhadap kultur dari komunitas yang merupakan bagian atau
agen dari kebudayaan itu sendiri. Pesan utama kedua bentuk pengayaan
kultural itu gamblang: perayaan Imlek adalah momentum untuk saling
berbagi terhadap sesama, terutama bagi mereka yang masih butuh uluran
tangan. Imlek adalah momentum untuk memperkuat ikatan tali sosial dengan
warga masyarakat Medan yang multikultur.
Jika semasa Orde Baru warga Tionghoa
Indonesia hanya dapat merayakan Imlek terbatas di rumah masing-masing
dan dilakukan diam-diam, serta tidak menyolok umum, maka seiring dengan
dicabutnya Inpres 4 tahun 1967, serta keputusan pemerintah Megawati
Soekarnoputri menjadikan perayaan Imlek sebagai hari libur nasional,
maka ekspresi budaya warga Tionghoa Indonesia dalam menyambut dan
merayakan Imlek menjadi kian terbuka.
Ekspresi budaya itu sendiri juga
disertai representasi identitas ketionghoaan, yang kerap ditandai dengan
simbol-simbol budaya yang sering disebut oriental. Sebut misalnya
pemasangan lampion, baju cheongsam, pemberian angpao, pementasan
barongsai dan pernik-pernik lainnya.
Sejumlah literatur menyebutkan bahwa
Imlek dirayakan masyarakat Tionghoa dalam rangka menyambut datangnya
musim semi. Menurut pakar kuliner China, Hiang Marahimin, Imlek adalah
perayaan para petani di daratan Tiongkok yang bersyukur dengan hasil
panen. Inilah yang membuat Imlek fokus pada makanan dan bertema anugerah
yang melimpah ruah. Tujuannya hanya satu, yaitu sebagai ungkapan rasa
syukur atas rezeki yang telah diberikan tahun lalu, dan meminta rezeki
untuk tahun berikutnya. Hal ini diyakini, penampilan dan sikap di tahun
baru menjadi penentu perjalanan di masa depan.
Selain makanan khas Imlek, umumnya ada
dua penanda utama saat warga Tionghoa merayakan Imlek. Pertama.
pemberian angpao dari orangtua kepada anak-anak mereka, atau anggota
keluarga yang masih tergolong dekat seperti keponakan atau cucu yang
belum bekerja atau memperoleh penghasilan, dan belum menikah. Pemberian
angpao, adalah simbolisasi keberuntungan, kegembiraan dan semangat yang
akan membawa pada nasib baik.
Kedua, perayaan Imlek juga ditandai
dengan acara makan bersama anggota keluarga. Namun budaya bukanlah
sesuatu yang statis atau beku. Seiring dinamika sosial, para agen budaya
juga sering melakukan tafsir ulang, atau memperkaya praktek budaya,
agar ekspresi budaya yang dilakukan mampu merespon berbagai perubahan
yang ada. Terutama perubahan sosial di lingkungan para agen budaya itu
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Tujuannya tentu agar praktek
berbudaya suatu komunitas tidak tercerabut dari konteks sosial politik
dimana komunitas budaya itu berada. Saling pengaruh, saling mengisi,
bahkan terbentuknya budaya baru (akulturasi) sebagai proses dialektika
antar kebudayaan yang berbeda, bukan sesuatu yang mustahil.
Angpao Sosial
Dalam konteks dimana kemiskinan masih
menjadi problem sosial dan politik yang belum sepenuhnya berhasil
dientaskan negara, dan umat manusia di dunia, maka sudah sewajarnya jika
kelompok masyarakat yang secara ekonomi lebih kuat membantu kelompok
masyarakat yang masih lemah.
Di sinilah aksi sosial yang dilakukan
organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan, termasuk juga
yayasan-yayasan sosial marga Tionghoa dalam menyambut Imlek, menjadi
fenomena kebudayaan yang menarik.
Keberadaan angpao, yang semula
dimaksudkan sebagai bentuk subsidi, atau ungkapan syukur dari orang yang
sudah bekerja kepada mereka yang belum bekerja, atau belum menikah, dan
berdimensi internal, diperluas dimensinya sebagai subsidi sosial kepada
sesama warga yang secara ekonomi masih perlu untuk diberdayakan.
Dengan kata lain, dimensi internal
angpao diubah menjadi berdimensi eksternal. Munculah apa yang disebut
fenomena angpao sosial. Karena itu apa yang dilakukan ormas-ormas
seperti Lions Club, Rotary Club, INTI maupun PSMTI untuk menyebut
beberapa organisasi yang sering membagikan bantuan paket sembako
menjelang perayaan Imlek, tak lain merupakan perwujudan pengayaan
kultural dalam menyambut perayaan Imlek.
Fakta ini memperlihatkan bahwa warga
Tionghoa Indonesia bukanlah entitas budaya yang kaku dalam menghayati
dan mengamalkan warisan budaya leluhur mereka.
Warga Tionghoa bersikap lentur,
sekaligus adaptif dalam memperkaya praksis budaya mereka untuk merespon
situasi sosial di sekeliling mereka.
Dalam beberapa kasus pemberian angpao sosial itu bahkan melintasi sekat
perbedaan kesukuan dan agama yang ada. Ini sekaligus menandakan perayaan
multikulturalisme tak menjadikan masyarakat Tionghoa Medan terjebak
dalam resicinization (pentionghoaan kembali) sebagaimana dikhawatirkan
banyak pihak.
Memperkuat Relasi Sosial Pengayaan
kultural juga dilakukan oleh beberapa tokoh masyarakat Tionghoa saat
mereka menyelenggarakan kegiatan open house yang biasanya dihadiri
relasi mereka yang berasal dari beragam latar belakang suku, agama,
budaya dan status sosial.
Ragam hidangan yang disajikan pun
berdimensi multikultural, dan tentu saja tidak bertentangan dengan
ajaran agama yang ada. Begitulah saat acara open house, lontong Imlek
dan rendang Imlek pun bersanding dengan kweetiaw goreng.
Di sini lagi-lagi muncul kelenturan
budaya dari warga Tionghoa yang memperluas dimensi acara makan bersama
keluarga menjadi makan bersama warga masyarakat untuk memperkuat relasi
sosial yang ada.
Peribahasa Tionghoa kalau minum air
jangan lupa sumbernya, sungguh-sungguh telah diberi tafsir baru.
Masyarakat Tionghoa Medan bukan hanya setia pada warisan budaya leluhur
mereka saja, namun lewat angpao sosial dan open house, mereka juga telah
melakukan pengayaan budaya Imlek untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial dimana mereka berada.
Dan hal ini barangkali merupakan kekhasan dalam menyambut perayaan Imlek di negara kita!.
Sumber : Harian Analisa
No comments:
Post a Comment