Fenomena golput seringkai diidentifikasikan dengan "gerakan protes" terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dan pilkada itu muncul hanya setiap lima tahun sekali, namun yang penting untuk diketahui dari gerakan itu adalah makna dan sasaran yang ingin dicapainya serta implikasinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahwa hingga kini masih tetap ada golput yang memberikan "suara berbeda", ini suatu tanda zaman "ada apa dengan dinamika demokrasi kita?" Suara berbeda atau dengan kata lain tidak mencoblos salah satu pun dari tanda gambar organisasi peserta pemilu, salah satu pasangan calon kepala daerah atau calon legislatif tentu saja bukannya tanpa kesadaran dan pertimbangan yang argumentatif.
Orang-orang golput seperti dikatakan Arif Budiman, salah seorang pencetus golput pada tahun 1971, ada yang murni dan ada yang kecelakaan. Kalau yang murni tidak mau memilih berdasarkan kesadaran, sedangkan yang kecelakaan karena memang benar-benar tidak mengerti atau lagi ada halangan.
Banyak masyarakat yang berpikir dia memilih atau tidak, tidak ada perbedaan yang akan ia rasakan. Banyak pula yang enggan memberikan hak suaranya karena alasan tidak ada calon yang cocok sesuai kata hati mereka atau karena mereka apatis dengan pemilihan kepala daerah. Dan ada juga masyarakat yang sebenarnya memiliki kartu tanda penduduk namun tidak memiliki hak pilih karena tidak tercatat sebagai DPT.
Membahas golput, maka kita tidak lepas untuk menyibak faktor-faktor yang melatarbelakangi seseorang memberikan suaranya dalam pemilu. apakah memilih merupakan hak (rights) atau kewajiban (obligations), atau ritual budaya semata yang tanpa makna?
No comments:
Post a Comment